Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا ﴿٢٣﴾ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا
وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ ۚ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusuimu; saudara
perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang ada dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain yang demikian
(yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini, bukan untuk
berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai
suatu kewajiban..." [An-Nisaa'/4: 23-24]
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Abbas, "Tujuh
(golongan yang) dihalalkan untuk dinikahi karena alasan nasab, dan tujuh
(golongan) karena alasan mushaharah (semenda/ ikatan perkawinan)."
Kemudian dia membaca, حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ “Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu...”[1]
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: "Dalam riwayat ath-Thabrani dari jalur
selain maula Ibnu 'Abbas, dari Ibnu 'Abbas, disebutkan di akhir hadits
tersebut, ‘... kemudian dia membaca: حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
‘Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibu-mu,’ hingga ayat: وَبَنَاتُ
اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ ‘Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
perempuan.’ Kemudian mengatakan: ‘Inilah senasab.’ Kemudian membaca,
وَأُمَّهَاتُكُمُ الَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ ‘Ibu-ibumu yang menyusuimu,
saudara perempuan sepersusuan,’ hingga ayat, وَأَن تَجْمَعُوا بَيْنَ
اْلأُخْتَيْنِ ‘Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara,’ dan membaca: وَلاَ تَنكِحُـوا مَـا نَكَحَ ءَ ابَآؤُكُم
مِّنَ النِّسَآءِ ‘Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu.’ (An-Nisaa'/4: 22), lalu mengatakan, ‘Inilah
semenda.’"[2]
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: "Menyebut sepersusuan dengan semenda
(shahr) adalah boleh, demikian pula isteri orang lain. Mereka semua
(haram untuk dinikahi selamanya), kecuali menghimpun di antara dua
saudara dan isteri orang lain.
Termasuk dalam kategori orang-orang yang telah disebutkan ialah mantan
isteri kakek, dan nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas. Demikian
pula nenek dari pihak ayah, dan cucu perempuan dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah. Demikian pula cucu perempuan dari anak perempuan,
dan anak perempuan keponakan perempuan dari saudara perempuan dan
seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan keponakan perempuan
dari saudara laki-laki, anak perempuan keponakan laki-laki dari saudara
laki-laki, saudara perempuan, dan bibi (dari pihak ayah) dan seterusnya
ke atas. Demikian pula bibi ibu, baik dari pihak bapak maupun ibunya,
dan seterusnya ke atas. Demikian pula bibi bapak (dari pihak ibu), nenek
isteri dan seterusnya ke atas, dan anak perempuan dari anak tiri
perempuan dan seterusnya ke bawah. Demikian pula anak perempuan dari
anak tiri laki-laki, isteri cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu
laki-laki dari anak perempuan, serta meng-himpun antara seorang
perempuan dengan bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu."[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Adapun wanita-wanita
yang diharamkan karena nasab, maka ketetapannya bahwa semua kerabat
seorang pria dari nasab adalah haram atasnya; kecuali anak-anak
perempuan pamannya, baik dari pihak bapak maupun ibu, dan anak-anak
perempuan bibinya, baik dari pihak bapak maupun ibu. Keempat golongan
inilah yang dihalalkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dengan firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي
آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ
عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ
وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً
إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ
يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
‘Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu
yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki
yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu,
anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan
dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya
sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin...’”
[Al-Ahzaab/33: 50]
Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghalalkan bagi Nabi-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dari wanita-wanita itu, empat golongan; dan Allah
tidak menjadikan hal itu sebagai kekhususan bagi beliau sehingga tidak
berlaku untuk kaum mukminin lainnya. Kecuali wanita yang menghibahkan
dirinya (menawarkan diri untuk dinikahkan), maka Dia menjadikan hal ini
sebagai kekhususannya. Beliau boleh menikahi wanita yang menghibahkan
dirinya tanpa mahar, dan ini tidak berlaku untuk selain beliau;
berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.”[4]
Kemudian, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: "Adapun yang berkaitan
dengan wanita yang diharamkan karena semenda, maka semua wanita semenda
halal baginya kecuali empat golongan. Dan ini bertolak belakang dengan
sanak famili, di mana keseluruhannya haram untuk dinikahi kecuali empat
golongan.
Kaum kerabat kedua pasangan suami-isteri semuanya halal, kecuali empat
golongan, yaitu mantan isteri ayah, mantan isteri anak laki-laki, ibu
isteri (mertua), dan anak-anak isteri. Diharamkan atas kedua pasangan
suami-isteri (untuk memihak) orang tua dan anak-anak masing-masing.
Diharamkan atas laki-laki menikahi ibu isterinya; termasuk nenek isteri
dari pihak ibu dan ayah serta seterusnya ke atas. Ia juga diharamkan
menikahi anak perempuan isterinya, yaitu anak tiri dan cucu perempuan
dari anak perempuan isterinya serta seterusnya ke bawah. Juga anak
perempuan dari anak tiri perempuan pun adalah haram.
Ia diharamkan menikah dengan isteri ayahnya dan seterusnya ke atas, dan
isteri anak laki-lakinya serta seterusnya ke bawah.
Keempat golongan itulah yang diharamkan dalam Kitabullah karena semenda.
Keempat golongan itu diharamkan dengan akad; kecuali anak tiri, maka ia
tidak diharamkan hingga (kecuali) sang pria telah mencampuri ibunya.
Adapun anak-anak perempuan dari kedua wanita berikut ini dan (anak-anak
perempuan dari) ibunya, maka tidak diharamkan. Ia boleh menikahi anak
perempuan isteri ayahnya [*] dan (anak perempuan dari isteri) anak
laki-lakinya [**] berdasarkan kesepakatan ulama; sebab dia bukan isteri.
Berbeda halnya dengan anak perempuan tiri, karena anak dari anak tiri
adalah cucu tiri. Begitu juga anak perempuan ibu isteri (ibu mertua)
tidak diharamkan, [***] karena dia bukan ibu yang sesungguhnya. Karena
itu kalangan fuqaha mengatakan: ‘Anak-anak perempuan dari wanita-wanita
yang diharamkan adalah diharamkan -kecuali anak-anak perempuan bibi dari
pihak bapak dan dari pihak ibu- begitu juga ibu isteri, dan mantan
isteri ayah dan anak juga diharamkan.’ Dia menggolongkan anak perempuan
dari anak tiri perempuan sebagai wanita yang diharamkan; namun tidak
memberlakukan hal tersebut pada anak-anak ketiga wanita di atas. Inilah
yang tidak saya ketahui ada perselisihan di dalamnya.”[5]
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Ja’far meng-himpun antara
puteri 'Ali dan isteri 'Ali.
Ibnu Sirin berpendapat tidak mengapa. Sedangkan al-Hasan semula
memakruhkannya, kemudian berpendapat tidak mengapa.[6]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas, bahwa ia mengatakan:
“وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ (An-Nisaa’/4: 24), para wanita yang
bersuami lagi merdeka adalah haram, إِلاَّ مَـا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ (An-Nisaa’/4: 24). Ia
berpendapat, tidak mengapa seseorang mengambil hamba sahaya wanitanya
dari hamba sahaya laki-lakinya.”
Al-Hafizh berkata dalam al-Fat-h: “Kebanyakan yang dimaksud dengan
muhshanaat ialah para wanita yang bersuami, yakni bahwa mereka adalah
haram, dan yang dimaksud dengan pengecualian dalam firman-Nya, إِلاَّ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ‘Kecuali budak-budak yang kamu miliki,’ ialah
para tawanan wanita; jika mereka bersuami, maka mereka halal bagi siapa
yang menawannya."[7]
Diharamkannya Anak Tiri Perempuan Dan Menghimpun Dua Wanita Bersaudara.
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي
دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
“... Dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum ber-campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan)...” [An-Nisaa’/4: 23]
Menurut Ibnu ‘Abbas Radhyallahu anhu, (yang dimaksud dengan) dukhul
(mencampuri), masis dan lamas (menyentuh) ialah jima’ (bersetubuh). [8]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Zainab, dari Ummu Habibah Radhiyallahu
anhuma, ia mengatakan: "Aku bertanya: 'Wahai Rasulullah, apakah engkau
menginginkan puteri Abu Sufyan?' (Dalam sebuah riwayat: ‘Nikahilah
saudara perempuanku, puteri Abu Sufyan’). Beliau menjawab: 'Aku akan
berbuat apa?' Aku mengatakan: 'Engkau menikahinya.' Beliau bertanya:
'Apakah engkau suka?' Aku menjawab: 'Aku tidak cemburu kepadamu, dan
wanita yang paling aku sukai menyertaiku bersamamu ialah saudara
perempuanku.' Beliau bersabda: 'Ia tidak halal untukku.' Aku mengatakan:
'Aku mendapat kabar bahwa engkau tengah meminang.' Beliau bertanya:
'Puteri Ummu Salamah maksudnya?' Aku menjawab: 'Ya.' Beliau mengatakan:
'Seandainya dia bukan anak tiriku, dia tetap tidak halal untukku; aku
dan ayahnya sama-sama disusui oleh Tsuwaibah. Oleh karena itu, jangan
menawarkan puteri-puteri kalian dan saudara-saudara perempuan kalian
kepadaku.'"[9]
Menurut al-Hafizh rahimahullah, yang dimaksud dengan rabibah adalah anak
perempuan isteri (anak tiri). Kemudian dia mengatakan: ‘Abdurrazzaq,
Ibnul Mundzir dan selainnya mengatakan dari jalur Ibrahim bin ‘Ubaid
dari Malik bin Aus. Ia mengatakan: “Aku mempunyai isteri yang sudah
melahirkan anak untukku. Ketika dia mati, aku melihat di pangkuannya.
Lalu ketika aku bertemu ‘Ali bin Abi Thalib, dia bertanya: ‘Apa yang
menimpamu?’ Aku pun menceritakan kepadanya. Dia bertanya: ‘Apakah dia
mempunyai anak wanita (yakni dari pria selain kamu)?’ Aku menjawab:
‘Ya.’ Dia bertanya: ‘Apakah ia dalam pengasuhanmu?’ Aku menjawab:
‘Tidak, ia di Tha-if.’ Dia mengatakan: ‘Nikahilah!’ Aku bertanya: ‘Lalu
bagaimana dengan firman-Nya, وَرَبَـائِبُكُم ‘Dan anak-anak perempuan
isterimu?’ Dia menjawab: ‘Ia tidak dalam pengasuhanmu.’” Atsar ini
shahih dari 'Ali Radhyallahu anhu.[10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Pengharaman
menghimpun dua wanita bersaudara berdasarkan nash (teks) al-Qur-an; dan
tidak boleh pula (menggabungkan) antara wanita dengan bibinya dari pihak
ayah dan antara wanita dengan bibinya dari pihak ibu. Tidak boleh
wanita yang lebih tua dinikahi setelah saudara wanitanya yang lebih muda
(dinikahi), atau sebaliknya. Karena telah termaktub dalam hadits shahih
bahwa Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam. melarang hal itu.
Diriwayatkan bahwa beliau bersabda:
أَنَّكُمْ إِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ قَطَعْتُمْ بَيْنَ أَرْحَامِكُمْ.
‘Jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah memutuskan ikatan
kekerabatan di antara kalian.’
Walaupun salah satu dari keduanya merelakan yang lainnya untuk dinikahi,
tetap tidak boleh. Sebab, tabi’at itu berubah-ubah. Karena itu, ketika
Ummu Habibah menawarkan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam agar
menikahi saudara perempuannya, beliau bertanya kepadanya: ‘Apakah kamu
suka?’ Ia menjawab: ‘Aku tidak lagi sendirian, dan wanita yang paling
berhak menyertaiku dalam kebajikan adalah saudara perempuanku.’ Tapi
beliau mengatakan: ‘Ia tidak halal bagiku.’ Dikatakan kepada beliau:
‘Kami berbincang-bincang bahwa engkau akan menikahi gadis puteri Abu
Salamah.’ Beliau menjawab:
لَوْلَمْ تَكُنْ رَبِيْبَتِيْ فِيْ حِجْـرِيْ لَمَا حَلَّتْ لِيْ،
فَإِنَّهَا بِنْتُ أَخِيْ مِنَ الرَّضَاعِ، أَرْضَعَتْنِيْ وَأَبَاهَا
أَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ أُمُّ أَبِيْ لَهَبٍ، فَلاَ تَعْرُضْنَ عَلَيَّ
بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ.
‘Seandainya dia bukan anak tiriku yang berada dalam pengasuhanku, dia
tetap tidak halal bagiku; sebab dia adalah anak saudaraku sepersusuan.
Aku dan ayahnya disusui oleh Tsu-waibah, ibunda Abu Lahab. Oleh karena
itu, janganlah menawarkan anak-anak perempuan kalian atau
saudara-saudara perempuan kalian kepadaku.’[11] Dan hal ini disepakati
oleh kalangan ulama."[12]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan:
"Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam melarang wanita dinikahi
bersama bibinya, baik bibi dari pihak ayah maupun dari pihak ibu."[13]
Diharamkan Dari Sepersusuan Sebagaimana Yang Diharamkan Dari Nasab:[14]
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, isteri Nabi
Shallallahu ‘aliahi wa sallam, mengabarkan kepada ‘Umrah binti
‘Abdurrahman bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa sallam berada
di sisinya dan dia mendengar suara seorang pria yang meminta izin di
rumah Hafshah. Ia mengatakan: "Aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, ada
orang yang meminta izin di rumahmu.' Beliau mengatakan: 'Aku melihatnya
si fulan.' Ternyata paman Hafshah dari sepersusuan." ‘Aisyah bertanya:
"Seandainya si fulan masih hidup -paman ‘Aisyah dari sepersusuan- apakah
dia boleh menjengukku?" Beliau menjawab: "Ya, sepersusuan diharamkan
sebagaimana seperanakan."[15]
Al-Bukhari juga meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan:
"Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu ‘aliahi wa sallam: 'Mengapa engkau
tidak menikahi puteri Hamzah?' Beliau menjawab: 'Ia adalah puteri
saudaraku sepersusuan.'"[16]
Masa Penyusuan.
Al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi
Shallallahu ‘aliahi wa sallam menemuinya, sedang di sisinya ada seorang
pria, maka sepertinya wajah beliau berubah (seperti) tidak menyukai hal
itu. ‘Aisyah berkata, "Ia saudaraku." Beliau bersabda:
اُنْظُرْنَ مَا إِخْوَانُكُنَّ، فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ
الْمَجَاعَةِ.
"Perhatikanlah saudara-saudara kalian. Sebab penyusuan itu hanyalah
(yang diberikan sebagai penyelamatan dari) kelaparan."[17]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, Al-Muhlib berkata: "Diharamkannya
sepersusuan hanyalah (yang terjadi) di masa kecil hingga penyusuan itu
mengatasi kelaparan." Abu ‘Ubaid berkata: "Arti "perhatikan apa yang ada
pada saudara-saudara kalian... dan seterusnya," adalah bayi yang lapar,
dan makanan yang mengenyangkannya adalah susu dari penyusuan." Sabda
beliau: "Sesungguhnya penyusuan itu hanyalah (yang diberikan sebagai)
penyelamatan dari kelaparan", maksudnya penyusuan yang menetapkan
keharaman, dan dihalalkan ‘Aisyah berdua dengannya adalah apabila yang
disusui itu masih bayi, di mana susu itu mengatasi kelaparannya. Di
antara hadits-hadits pendukungnya ialah hadits Ibnu Mas’ud: "Tidak ada
penyusuan kecuali apa yang dapat menguatkan tulang dan me-numbuhkan
daging."[18] Dan hadits Ummu Salamah: "Tidak diharamkan dari sepersusuan
kecuali yang mengenyangkan usus-usus."[19]
Kemudian, al-Hafizh v berkata: “Ini dapat dijadikan sebagai dalil bahwa
sekali susuan tidaklah menjadi haram, karena tidak menghilangkan rasa
lapar." Al-Hafizh mengatakan tentang masa penyusuan. Dikatakan, tidak
lebih dari usia dua tahun. Ini adalah riwayat Wahb dari Malik, dan
demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama). Argumen mereka adalah
hadits Ibnu ‘Abbas: "Tidak ada penyusuan kecuali dalam (usia) dua
tahun."[20]
Jumlah Susuan.
Para ulama berselisih tentang jumlah penyusuan yang menyebabkan haramnya
(pernikahan). Ada sejumlah hadits yang berbeda-beda dari Ummul Mukminin
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ada yang menyebutkan sepuluh kali, tujuh
kali, dan lima kali susuan; dan yang paling shahih adalah riwayat Muslim
yang menyebutkan lima kali susuan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam riwayat Muslim dari ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma: "Di antara ayat al-Qur-an yang diturunkan ialah
tentang sepuluh susuan yang telah dikenal. Kemudian dihapuskan dengan
lima susuan yang telah dikenal. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘aliahi wa
sallam wafat, dan itulah yang dibaca."[21]
Sedangkan dalam riwayat ‘Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan: "Tidak menyebabkan haram
kurang dari lima susuan yang dikenal."[22] Imam Asy-Syafi’i berpendapat
demikian. Ini pun termasuk riwayat Ahmad dan pen-dapat Ibnu Hazm.
Al-Baihaqi meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit dengan sanad yang shahih
bahwa dia mengatakan: "Tidak menyebabkan haram sekali susuan dan tiga
kali susuan." Hadits yang terkuat di antara hadits-hadits tentang
masalah ini ialah hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang lima kali
susuan. Adapun (maksud) hadits: "Tidak menyebabkan haram sekali susuan
dan dua kali susuan," maka mungkin sekedar misal dari penyusuan yang
kurang dari lima kali. Jika tidak demikian, maka pengharaman dengan tiga
kali susuan dan seterusnya hanyalah diambil dari mafhum (konteks)
hadits. Tetapi ini ditentang oleh mafhum hadits lain yang diriwayatkan
oleh Muslim, yaitu lima kali susuan.[23]
Menyusu Dari Air Susu.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Urwah bin az-Zubair,
dari ‘Aisyah, dia bercerita kepadanya bahwasanya Aflah, saudara Abul
Qu’ais, datang untuk meminta izin kepadanya -ia adalah pamannya
sepersusuan- setelah turun ayat tentang hijab. ‘Aisyah berkata: "Tapi
aku menolak memberi izin kepadanya. Ketika Rasulullah Shallallahu
‘aliahi wa sallam datang, aku memberitahukan kepada beliau tentang apa
yang aku lakukan, maka beliau menyuruhku agar mengizinkannya menemuiku."
Dalam satu riwayat: "Sebab, dia adalah pamanmu. Semoga engkau
diberkahi."
Abul Qu’ais adalah suami wanita yang menyusui ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma.[24]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5105), kitab an-Nikaah.
[2]. Fat-hul Baari (IX/154).
[3]. Fat-hul Baari (IX/155).
[4]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[*]. Yang dimaksud dengan isteri ayahnya di sini adalah yang selain ibu
kandung-nya, sedang anak perempuannya bukan yang terlahir dari
pernikahan dengan ayahnya, tetapi dengan laki-laki lain.-ed.
[**]. Yaitu yang terlahir dari pernikahan dengan laki-laki lain bukan
dari pernikahan dengan anak laki-lakinya, sebab anak perempuan dari anak
laki-laki (cucu) haram untuk dinikahi.-ed.
[***]. Maksudnya, tidak diharamkan selama-lamanya. Adapun selama dia
masih terikat pernikahan dengan isterinya, maka haram baginya untuk
menikahinya, karena adanya larangan menghimpun dua wanita yang
bersaudara.-ed.
[5]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5105) kitab an-Nikaah.
[7]. Fat-hul Baari (IX/154).
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 25), dan lihat Fat-hul Baari
(IX/157).
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5106) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1449) kitab
ar-Radhaa’, an-Nasa-i (no. 3284) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2056)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1939) kitab an-Nikaah, Ahmad (no.
25954).
[10]. Fat-hul Baari (IX/158).
[11]. HR. Al-Bukhari (no. 5101) kitab an-Nikaah.
[12]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/62).
[13]. HR. Al-Bukhari (no. 5108) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1408) kitab
an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3288)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1929) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no.
7413).
[14]. HR. Al-Bukhari (no. 2645) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no. 1444)
kitab ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i (no. 3302) kitab an-Nikaah.
[15]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1444) kitab
ar-Radhaa’.
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1446) kitab
ar-Radhaa’.
[17]. HR. Al-Bukhari (no. 5099) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1455) kitab
ar-Radhaa’.
[18]. Disebutkan al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/148).
[19]. HR. Ibnu Majah (no. 1946) kitab an-Nikaah, dari ‘Abdullah bin
az-Zubair z, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Ibni
Majah (no. 1582) dan lihat al-Irwaa' (no. 2150).
[20]. HR. At-Tirmidzi (no. 1166) kitab ar-Radhaa’, Ibnu Majah (no. 1942)
kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih
at-Tirmidzi (no. 919) dan lihat al-Irwaa' (no. 2047), serta Fat-hul
Baari (IX/146).
[21]. HR. Muslim (no. 1452) kitab ar-Radhaa’.
[22]. Disebutkan oleh al-Hafizh dalam al-Fat-h (IX/147).
[23]. Fat-hul Baari (IX/147).
[24]. HR. Al-Bukhari (no. 2644) kitab asy-Syahaadah, Muslim (no. 1445)
kitab ar-Radhaa’ah, at-Tirmidzi (no. 1148) kitab ar-Radhaa’ah, an-Nasa-i
(no. 3301) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1948) kitab an-Nikaah,
Ahmad (no. 23534).
Sumber : http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar