Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Bismillahirrahmaanirrahiim
Allah berfirman.
Artinya :
“Katakanlah : “Dialah Allah, Yang Maha Esa” [Al-Ikhlash : 1]
“Allah adalah Ilah yang bergantung kepadaNya segala urusan” [Al-Ikhlash :
2]
“Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan” [Al-Ikhlash : 3]
“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash : 4]
Mengenai “basmalah” telah berlalu penjelasannya.
Sebab turunnya surat ini adalah, ketika orang musyrik atau orang Yahudi
berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Beritakan
kepada kami sifat Rabb-mu!” Kemudian Allah Ta’ala menurunkan surat ini
[1]
Qul = “Katakanlah”. Pernyataan ini ditujukan kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. “Huwa Allahu ahad” = “Dialah
Allah Yang Maha Esa”. Menurut ahli I’rab, huwa adalah dhamir sya’n, dan
lafdzul jalalah Allah khabar mubtada dan “Ahadun” khabar kedua. ‘Allahu
Ash-Shomad’ kalimat tersendiri. “Allahu Ahadun” Yakni, Dia adalah Allah
yang selalu kamu bicarakan dan yang selalu kamu memohon kepada-Nya.
“Ahadun”. Yakni, Yang Maha Esa dalam kemuliaan dan keagungan-Nya, yang
tiada bandingan-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Bahkan Dia Maha Esa dalam
kemuliaan dan keagungan. “Allahu Ash-Shomad” adalah kalimat tersendiri
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa dia Ash-Shomad. Makna yang paling
mencakup iallah Dia mempunyai sifat yang sempurna yang berbeda dengan
semua mahkhluk-Nya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Ash-Shomad ialah yang sempurna
Keilmuan-Nya, Yang sempurna Kesantunan-Nya, Yang sempurna Keagungan-Nya,
Yang sempurna Kekuasaan-Nya. Sampai akhir perkatan-Nya [2]. Ini artinya
bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan makhluk karena Dia Maha Sempurna.
Dan juga tertera dalam tafsir bahwasanya As-Shamad ialah yang menangani
semua urusan makhlukNy-Nya. Artinya, Bahwa seluruh makhluk sangat
bergantung kepada Allah Ta’ala. Jadi, arti yang paling lengkap ialah :
Dia Maha Sempurna dalam sifat-sifat-Nya dan seluruh makhluk sangat
bergantung kepada-Nya.
“Lam yaalid”. Bahwa Allah Azza wa Jalla tidak mempunyai anak karena Dia
adalah Dzat Yang Maha Muali dan Maha Agung, tidak ada yang serupa
dengan-Nya. Seorang anak adalah sempalan dan bagian dari orang tuanya.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah
Radhiyallahu ‘anha.
“Artinya : Ia adalah bahagian dari diriku” [3]
Allah Azza wa Jalla tidak ada yang serupa dengan-Nya. Anak merupakan
salah satu kebutuhan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan dunia maupun
untuk menjaga kesinambungan keturunan. Allah Azzan wa Jalla tidak
memerlukan itu semua. Dia juga tidak dilahirkan karena tidak ada yang
serupa dengan-Nya dan Allah Azza wa Jalla tidak memerlukan seorang dari
makhluk-Nya. Allah telah mengisyaratkan bahwa mustahil bagi-Nya
mempunyai anak, seperti dalam firman-Nya.
“Artinya : Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai
isteri ? Dia menciptakan segala sesuatu ‘ dan Dia mengetahui segala
sesuatu” [Al-An’am : 101]
Seorang anak membutuhkan orang yang melahirkannya.
Demikianlah, Allah adalah Dzat Yang Menciptakan segala sesuatu. Jika
Allah menciptakan segala sesuatu berarti Dia terpisah dari makhluk-Nya.
Dalam firman-Nya : Lam yaalid” = “tidak beranak” merupakan bantahan
terhadap tiga kelompok anak Adam yang menyimpang. Mereka adalah orang
Musyrik, orang Yahudi dan orang Nasrani. Orang musyrik meyakini bahwa
malaikat yang mereka itu ‘Ibadur Rahman’ berjenis perempuan. Mereka
mengatakan bahwa malaikat tersebut adalah anak perempuan Allah. Orang
Yahudi mengatkan ‘Uzair adalah anak Allah, dan orang Nasrani mengatakan
Al-masih adalah anak Allah. Kemudian Allah mengingkari mereka semua
dengan firman-Nya “Lam yaalid wa lam yuu lad” = “Dia tiada beranak dan
tiada pula diperanakan”, karena Allah Azza wa Jalla adalah Dzat Yang
Pertama, tidak ada sesuatu yang mendahului-Nya, bagaimana mungkin
dikatakan bahwa Dia dilahirkan.
Firman Allah.
“Artinya : Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” [Al-Ikhlash :
4]
Yaitu tidak ada sesuatu pun yang menyamai seluruh sifat-sifat-Nya. Dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan Dirinya mempunyai ayah atau Dia
dilahirkan atau ada yang semisal dengan-Nya.
Sureat ini mempunyai keistimewaan yang sangat agung. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Bahwa ia (surat Al-Ikhlash) menyamai sepertiga Al-Qur’an” [4]
Surat ini menyamai sepertiga Al-Qur’an tetapi tidak dapat menggantikan
sepertiga Al-Qur’an tersebut. Dalilnya, kalau seorang membaca surat ini
sebanyak tiga kali di dalam shalat, masih belum mencukupi sebelum ia
membaca surat Al-Fatihah. Padahal jika ia membacanya tiga kali,
seolah-olah ia membaca semua Al-Qur’an, tetapi tidak dapat mencukupinya.
Jadi, kamu jangan heran ada sesuatu yang sebanding tetapi tidak
mencukupi. Misalnya sabda Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Barangsiapa membaca :
“Artinya : Tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah yang
tiada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nyalah segala kekuasaan dan pujian, dan
Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu”
Seakan-akan ia telah membebaskan empat orang budak dari keuturunan
Isma’il atau dari anak Ismail” [5]
Padahal jika ia berkewajiban untuk membebaskan empat orang hamba, dengan
mengatakan dzikir ini saja tidak cukup untuk membebaskan dirinya dari
kewajiban membebaskan hamba tersebut. Oleh karena itu, sam bandingnya
sesuatu belum tentu dapat menggantikan posisi yang dibandingkan.
Surat ini dibaca Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada raka’at
kedua shalat sunnah Fajr, shalat sunnah Maghrib dan shalat sunnah Thawaf
[6]. Begitu juga beliau membacanya dalam shalat witir [7], karena surat
ini merupakan landasan keikhlasan yang sempurna kepada Allah, inilah
sebabnya dinamai dengan surat Al-Ikhlash.
[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma,
penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan
Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
[1]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad (5/133), At-Tirmidzi dalam Kitab
Tafsir, bab : Surat Al-Ikhlash, no. (3364)
[2]. Hadits riwayat Ath-Thabrany dalam Tafsirnya (30/346). Dan
Al-Baihaqy dalam Asma Wash Shiafat hal. 58-59
[3]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam kitab Fadhilah Para Sahabat, bab :
Budi pekerti kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Fatimah Radhiyallahu ‘anha no. (3714). Dan Muslim dalam kitab Fadhilah
Para Sahabat, bab : Fadhilah Putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
no (2449) (93).
[4]. Hadits riwayat Al-Bukhary dalam Kitab Fadhilah Al-Qur’an, bab :
Fadhilah “Qul Huwa Allahu Ahad” no. (5015) Dan Muslim dalam kitab Shalat
Para Musafir, bab : Fadhilah membaca “Qul Huwa Allahu Ahad”, no. (811)
(30)
[5]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Dzikir, bab : Fadhilah Tahlil,
no. (2693) (30)
[6] Telah disebutkan takhrijnya.
[7]. Hadits riwayat At-Tirmidzi, dalam Bab-bab Witir, bab : Bacaan yang
dibaca dalam shalat witir, no. (463). Ia berkata : “hadits ini hasan
gharib”.
Sumber : http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar