Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu (pada jalan yang benar), sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersama kamu. Dan
janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang
kalian kerjakan [Hûd/11: 112]
RINGKASAN TAFSÎR[1]
(Maka tetaplah kamu [pada jalan yang benar]), yaitu beristiqomahlah
kamu, (sebagaimana diperintahkan kepadamu) di dalam kitab-Nya,
ber‘aqîdahlah yang benar, beramal solehlah dan tinggalkan kebatilan
tanpa menyimpang ke kiri ataupun ke kanan dan terus meneruslah dalam
keadaan seperti itu sampai kamu wafat. (dan [juga] orang yang telah
bertaubat bersama kamu), yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam dan kaum Mukminin, agar kalian mendapatkan balasan yang baik
kelak di hari Perhitungan (yaumul-hisâb) dan hari Pembalasan
(yaumul-jazâ’).
(Dan janganlah kalian melampaui batas), dengan berlebih-lebihan dari
batas-batas yang telah ditentukan oleh Allâh Azza wa Jalla , baik di
dalam keyakinan maupun amal.
(Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan) Dia (Allâh Azza
wa Jalla ) tidak akan pernah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan
dan Maha mengetahui segala sesuatu yang disembunyi-sembunyikan, meskipun
tidak tampak di hadapan manusia.
AYAT TERBERAT MENURUT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Ayat di ataslah yang menurut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sangat
berat untuk dilaksanakan.
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata:
مَا نُزِّلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ- آيَةً
هِيَ أَشَدُّ وَلَا أَشَقُّ مِنْ هذِهِ الآيَةِ عَلَيْهِ، وَلِذلِكَ قَالَ
لِأَصْحَابِه حِيْنَ قَالُوْا لَه: لَقَدْ أَسْرَعَ إِلَيْكَ الشَّيْبُ!
فَقَالَ : شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ وَأَخْوَاتُهَا
Tidaklah ada satu ayat pun yang diturunkan kepada Rasûlullâh Shallallahu
alaihi wa sallam yang lebih berat dan lebih susah daripada ayat ini.
Oleh karena itu, ketika beliau ditanya, ‘Betapa cepat engkau beruban’,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Sahabatnya, ‘Yang
telah membuatku beruban adalah surat Hûd dan surat-surat semisalnya[2]
MENGAPA AYAT TERSEBUT DIANGGAP SANGAT BERAT OLEH NABI SHALLALLAHU
‘ALAIHI WA SALLAM?
Karena pada ayat tersebut mengandung perintah untuk beristiqomah.
Sebenarnya seperti apakah istiqomah yang dimaksudkan, sehingga Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam sampai merasa sangat berat ketika
mendapatkan perintah tersebut? Inilah yang menjadi bagian pembahasan
artikel ini, serta penulis menambahkannya dengan sebab-sebab agar bisa
beristiqomah, cara termudah untuk beristiqomah, hal-hal yang dapat
merusak dan menghalangi sikap istiqomah serta keutamaan orang yang
beristiqomah.
PENGERTIAN ISTIQOMAH
Beratnya perintah beristiqomah dapat dimengerti melalui definisi
beberapa ulama berikut ini :
1. Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan
(tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allâh Azza wa Jalla
dengan segala apapun.”[3]
2. ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu : “Istiqâmah adalah lurus pada
ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak
belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.” [4]
3. Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah : “Istiqâmah adalah suatu derajat
yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya
akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.” [5]
4. An-Nawawi rahimahullah : “Lurus di atas ketaatan sampai diwafatkan
dengan keadaan seperti itu.”[6]
5. Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah : “Menapaki jalan yang lurus,
yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri.
Termasuk di dalamnya adalah mengerjakan seluruh perbuatan taat, secara
lahir dan batin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.”[7]
HAKEKAT ISTIQOMAH
Dari definisi-definisi (pengertian-pengertian) di atas kita bisa menarik
kesimpulan bahwa hakekat istiqâmah meliputi hal-hal berikut:
1. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat syirik
2. Berjalan di atas kebenaran (agama yang haq).
3. Melaksanakan segala perintah, baik yang wâjib maupun yang sunnah,
secara lahir dan batin.
4. Meninggalkan segala larangan, baik yang haram maupun yang makrûh.
5. Teratur dalam mengerjakan ketaatan.
6. Terus-menerus dalam keadaan seperti itu, tidak belok ke kanan maupun
ke kiri sampai ajal menjemput.
Dan sekali lagi sebagai penekanan, tampak jelas sulit dan beratnya
beristiqomah yang terwujud dengan melakukan ketaatan kepada Allâh Azza
wa Jalla secara kontinyu, padahal manusia mengalami pasang-surut
keimanan dan menghadapi berbagai macam fitnah duniawi yang sangat
berpotensi melunturkan semangat beristiqomah.
KEUTAMAAN ORANG YANG BERISTIQOMAH
Keutamaan orang yang bisa ber-istiqâmah sangat banyak sekali. Akan
tetapi, secara umum keutamaan tersebut tercantum pada tiga ayat berikut:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ
عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ﴿٣٠﴾نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي
أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ
رَحِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allâh"
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), maka
malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu
takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah
yang telah dijanjikan oleh Allâh kepadamu. Kamilah
pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya
kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya
apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang [Fushshilat/41:30-32]
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata [8] , “…Oleh karena itu, agama (Islam)
seluruhnya terkandung dalam firman Allâh[9] : { فَاسْتَقِمْ كَمَا
أُمِرْتَ } dan
firman-Nya [10] : { إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ }
Sungguh besar keutamaan istiqomah!
SEBAB SEBAB AGAR DAPAT MEWUJUDKAN ISTIQOMAH
Seseorang bisa ber-istiqâmah karena sebab-sebab sebagai berikut:
1. Taufik Dan Hidayah Dari Allâh Azza Wa Jalla
Inilah sebab yang paling utama. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang
artinya:
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ
وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا
كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,
niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang
dikehendaki oleh Allâh kesesatannya, niscaya Allâh akan menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit
[al-An’âm/6:125]
Oleh karena itu, sebisa mungkin kita melakukan berbagai hal yang
dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan
taufik dan hidayahnya kepada kita.
2. Doa
Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doa para hamba-Nya. Oleh karena itu,
jika seseorang menginginkan istiqomah, maka ia harus banyak memohon
kepada Allâh Azza wa Jalla agar bisa menjadi seorang yang mustaqîm
(orang yang beristiqomah). Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku [al-Baqarah/2: 186]
3. Mengikuti Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamâ’ah
Niat ikhlash dan rajin beribadah saja tidaklah cukup untuk bisa
beristiqomah. Seseorang yang ingin ber-istiqâmah harus berjalan di jalan
yang haq. Jika tidak demikian, percuma saja dia beristiqomah pada
kesesatan yang justru nantinya akan menjerumuskannya ke dalam api
neraka. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mengabarkan bahwa
hanya ada satu kelompok yang senantiasa mengemban kebenarannya,
sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ
يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ
كَذَلِكَ
Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak
dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat
memberikan mudhârat kepada mereka sampai datang perkara Allâh dan mereka
tetap dengan kebenarannya [11]
4. Sering Melakukan Proses Muhâsabatun Nafs (Mengintrospeksi Diri)
Orang yang ingin beristiqomah harus sering menjalankan proses
muhasabatun nafs. Jika seseorang tidak menyadari akan hakikat apa yang
dilakukannya yang berupa kebaikan dan dosa, maka dia tidak akan mau
berubah. Semakin banyak seseorang berintrospeksi, maka semakin banyak
pula ia akan menyadari bahwa amalan kebaikan yang dia lakukan belumlah
seberapa dan dosa yang dilakukannya sudah sangat banyak dan
bertumpuk-tumpuk.
‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
حاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ
قَبْل أَنْ تُوزَنُوا ، فَإنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِيْ الْحِسَابِ
غَدًا، أَنْ تُحَاسَبُوْا أَنْفُسَكُمْ اْليَوْمَ
Introspeksilah diri-diri kalian, sebelum nanti kalian ditunjukkan
amalan-amalan kalian (di hari Perhitungan)! Timbang-timbanglah diri
kalian, sebelum nanti kalian ditimbang (di hari mizan/penimbangan amal)!
Sesungguhnya, mengintrospeksi diri pada saat ini lebih mudah ketimbang
nanti ditunjukkan amalan-amalan (di hari Hisab)."[12]
5. Mengerjakan Perbuatan Baik Setelah Mengerjakan Perbuatan Buruk
Salah satu sebab datangnya istiqomah mengiringi segala
keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang baik. Sebagai contoh,
jika seseorang pernah mencuri, maka dia harus bertaubat dan
mengembalikan harta curiannya itu, kemudian memperbanyak sedekah.
Mudah-mudahan dengan bersedekah, dosa-dosanya dapat diampuni oleh Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk
[Hûd/11:114]
6. Tidak Meninggalkan Amalan-Amalan Kebaikan Yang Sudah Biasa Dikerjakan
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mencela orang yang pernah
beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut
meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadîts berikut:
عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا-
قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : يَا عَبْدَ اللهِ
لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ
اللَّيْلِ.
Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu
bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamberkata kepadaku,
“Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia
mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.”[13]
Perlu menjadi catatan, bahwa yang menjadi tuntutan adalah
kebersinambungan dalam mengerjakan suatu amalan, meskipun amalan itu
sedikit, bukan kuantitasnya.
PENTINGNYA MUJAHADATUN-NAFS DALAM MENGGAPAI ISTIQOMAH
Istiqomah bukanlah suatu perkara yang mudah diraih. Untuk menggapainya,
menjalankan mujâhadatun-nafs tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena
memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian yang selalu
istiqomah. Mujâhadatun-nafs adalah proses memaksa, melatih diri dan
berjuang sekuat tenaga agar jiwa bisa selalu tunduk dan taat terhadap
syariat. Mujâhadatun-nafs dapat dilakukan dengan harus memperhatikan
hal-hal berikut:
1. Harus Bertekad Kuat Untuk Merubah Diri (al-‘Azm) Dan Bertawakkal
Kepada Allâh Azza Wa Jalla
Tanpa tekad yang kuat, ke-istiqâmah-an tidak akan bisa dicapai. Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya (QS. Ali ‘Imrân/2:159)
2. Mencintai Allâh Dan Rasul-Nya Melebihi Segala Sesuatu
Salah satu cara menumbuhkan tekad untuk beristiqomah adalah dengan
terus-menerus mencari sebab agar bisa mencintai Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya n di atas segala sesuatu. – Istiqomah sangat erat kaitannya
dengan keimananan seseorang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu
alaihi wa sallambersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ, وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada tiga hal yang apabila ketiga hal tersebut berada pada seseorang,
maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: menjadikan kecintaannya
kepada Allâh dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu
selain keduanya, mencintai seseorang yang dia tidak mencintainya kecuali
karena Allâh dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana
kebenciannya jika dia dilempar ke dalam api[14]
Dengan memiliki rasa cinta yang seperti disebutkan di atas, maka
seseorang akan terus berupaya memacu dirinya untuk bisa ber-istiqâmah.
3. Mengatur Waktu Dan Aktivitas Keseharian Sebaik, Sepadat Dan Seefektif
Mungkin
Seorang yang ingin beristiqomah harus benar-benar membuat jadwal
kegiatannya untuk tiap hari, tiap pekan, tiap bulan dan tiap tahun.
Untuk kegiatan harian, contohnya: ketika hendak melatih diri untuk
shalat malam (tahajjud), maka ia mesti berusaha untuk tidur lebih awal
(tidak lama setelah shalat Isyâ’) dan memasang jam alarm atau sejenisnya
untuk dapat membangunkannya pada sepertiga malam terakhir.
Untuk kegiatan tiap pekan, misalnya, menargetkan pada setiap pekan ada
satu hari dimana ia harus menyempatkan diri untuk berinfak kepada sekian
orang, membantu orang lain dan tetangga.
Untuk kegiatan tahunan, seperti membiasakan diri untuk dapat beri’tikâf
di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhân, sehingga dia pun telah
merencanakan hari libur (cuti) dari semua aktivitasnya.
4. Melaksanakan Ibadah-Ibadah Sebaik Mungkin Seolah-Olah Ibadah Tersebut
Adalah Ibadah Yang Terakhir Kali Dan Ajal Akan Menjemput
Orang yang ingin beristiqomah harus membiasakan diri ketika mengerjakan
suatu ibadah tertentu, dia membayangkan bahwa seolah-olah dia tidak akan
hidup lama lagi, sehingga ia akan benar-benar bersungguh-sungguh dalam
beribadah dan meningkatkan kualitas ibadahnya.
5. Mengintrospeksi Diri Atas Amalan-Amalan Baik Yang Telah
Ditinggalkannya Dan Terhadap Amalan-Amalan Buruk Yang Telah
Dikerjakannya.
Setelah memasang target-target ibadah dan amalan-amalan, introspeksi
diri setiap hari sangat dibutuhkan. Ini dilakukan agar seseorang bisa
memperbaiki dirinya.
6. Turut Andil Dalam Dakwah
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keutamaan orang yang
beristiqomah dalam surat Fushshilat yang telah dicantum di atas, Allâh
Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berdakwah. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku
termasuk orang-orang yang menyerah diri.’? [Fushshilat/42:33]
Ini menunjukkan ada kaitan erat antara pencapaian istiqomah dengan
berdakwah.
6. Rela Bersabar Untuk Melatih Diri Dan Mengekang Hawa Nafsu Selama
Bertahun-Tahun
Untuk dapat beristiqomah tidaklah mudah. Kita harus rela mengekang hawa
nasu kita dan terus bermujâhadah selama bertahun-tahun. Muhammad bin
al-Munkadir rahimahullah berkata:
كَابَدْتُ نَفْسِيْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةٍ حَتَّى اسْتَقَمْتُ
Saya mengekang jiwaku selama empat puluh tahun barulah saya bisa
beristiqomah [15]
HAL-HAL YANG MERUSAK DAN MENGAHALANGI ISTIQOMAH
1. Setan
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ
الْمُسْتَقِيمَ
Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang
lurus [al-A’râf/7:16]
2. HawaNafsu
3. Lemahnya Niat Untuk Berubah
4. Masyarakat Dan Keluarga Yang Rusak Dan Islam Yang Dianggap Asing
Masyarakat dan keluarga yang rusak/buruk dapat menghalangi seseorang
untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang yang ingin bertobat dan ingin
beristiqomah sering kali merasa tidak enak jika menyelisihi masyarakat
atau keluarganya yang rusak.
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamtelah mengabarkan bahwa Islam di
akhir zaman akan terlihat asing dalam sabdanya:
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى
لِلْغُرَبَاءِ
Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana
munculnya. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang terasingkan
[16]
Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :
(( طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ))، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ
اللهِ؟ قَالَ: (( أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ، مَنْ
يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ )).
Beruntunglah orang-orang yang asing. Beliau pun ditanya, “Siapakah
orang-orang yang asing itu, ya Rasûlullâh?” Beliau pun menjawab,
“(Mereka adalah) orang-orang shâlih di antara orang-orang jelek/rusak
yang (jumlahnya) banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak
daripada orang yang mematuhinya.”
Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjalankan Islam dan
beristiqamah, pasti akan terlihat asing. Contohnya saja cadar, generasi
Salaf tidak berselisih pendapat bahwa cadar itu disyariatkan di dalam
Islam, wanita bercadar lebih afdhal dari yang tidak bercadar dan para
istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diwajibkan memakai cadar. Pada
zaman sekarang, cadar sangat terlihat asing, bahkan sebagian orang
awam/tidak berilmu mengidentikkannya dengan terorisme. Parahnya,
sebagian orang yang dipandang berilmu di tengah masyarakat mengeluarkan
pernyataan serupa.
5. Zaman Yang Penuh Fitnah Yang Berbeda Dengan Zaman Salaf
Zaman yang kita jalani sekarang ini sangat berbeda dengan zaman generasi
Salaf dahulu. Pada zaman ini, kaum Muslimin akan mendapatkan fitnah
yang sangat besar. Jika seseorang ingin menjauhinya, fitnah tersebutlah
yang akan datang kepadanya. Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk
beristiqomah.
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ
كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ
Akan datang kepada manusia suatu masa, (ketika itu) orang yang bersabar
menjalankan agamanya di antara mereka seperti orang yang memegang bara
api [18] [19]
6. Tidak Adanya Orang Yang Sering Menasihati
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamselalu memberi nasihat dan
petunjuk kepada para sahabatnya, sehingga Allâh Azza wa Jalla mengatakan
di dalam al-Qur’ân:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus [asy-Syûrâ/42:52]
Tidak adanya seorang penasihat di suatu daerah maka itu adalah suatu
musibah yang sangat besar dan bisa menghalangi seseorang untuk
beristiqomah. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada pembaca yang di
wilayahnya tidak (belum) ada kajian Islam yang shahih untuk segera
mendatangkan sang penasihat, atau mendatangi kajian-kajian atau dengan
cara lain agar bisa selalu mendengarkan nasehat-nasehat yang baik yang
dapat menenangkan dan meneguhkan jiwa di atas kebenaran.
7. Banyak Berkecimpung Dengan Urusan Dunia
Banyak berkecimpung dengan urusan dunia juga dapat menghalangi
ke-istiqâmah-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan [Ali ‘Imrân/3:85]
8. Teman Yang Jelek
Tidak diragukan bahwa teman yang jelek sangat berpengaruh terhadap
kepribadian seseorang. Oleh karena, pilihlah teman yang baik dan soleh
yang bisa mengajak kita untuk bisa beristiqomah.
9. Takut Dikatakan Sebagai Orang Yang Shaleh, Alim, Taat Atau Semisalnya
Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah, terutama
orang-orang yang memiliki rasa malu tinggi. Komentar masyarakat tidak
perlu diperhatikan baik dalam rangka memuji atau mencemooh. Itu semua
adalah ujian. Oang yang benar-benar mencintai Allâh Azza wa Jalla ,
tidak akan menghiraukan hal tersebut.
10. Putus Asa Dengan Rahmat Dan Pengampunan Allâh Azza Wa Jalla Sehingga
Tidak Mau Bertobat
Orang yang bergelimang dengan dosa, biasanya terbesik di hatinya,
“Bagaimana mungkin aku menjadi seorang yang bisa ber-istiqâmah,
sedangkan aku telah bergelimang dengan dosa dan hampir tidak ada
kebaikan yang pernah aku perbuat?” Ketahuilah, Allâh Azza wa Jalla Maha
Pengampun dan menerima tobat hamba-hambanya. Allâh Azza wa Jalla
berfirman yang artinya:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا
تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ
جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٥٣﴾وَأَنِيبُوا إِلَىٰ
رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ
ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri
mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (54) Dan kembalilah kamu kepada
Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu
Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) [az-Zumar/39:53-54]
Kesimpulan
1. Ayat yang menurut Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamsangat berat
untuk dilaksanakan adalah ayat yang mengandung perintah untuk
beristiqomah dalam surat Hûd.
2. Hakekat istiqomah meliputi hal-hal berikut: berada di atas kebenaran,
menjalankan semua perintah, meninggalkan semua larangan, teratur dalam
ketaatan dan kebersinambungan dengan keadaan seperti itu sampai akhir
hayat.
3. Seseorang yang ingin beristiqomah harus menempuh cara-cara yang
mengantarkan kepadanya.
4. Mujâhadatun nafs , berperan penting dalam pencapaian istiqomah
5. Banyak faktor yang mengganggu seorang Muslim untuk beristiqomah. Oleh
karena itu, sebisa mungkin seorang Mukmin menjauhinya.
6. Orang yang mencapai derajat istiqomah akan mendapat ganjaran yang
sangat besar sebagaimana telah disebutkan. Wallâhu a'lam
Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita meraih nikmat istiqomah
sampai akhir hayat nanti. Âmîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
*Staf Pengajar di Ma’had Tadrîbud-Dua’ât Al-Istiqomah dan SDIT
Al-Istiqomah Prabumulih, Sum-Sel.
[1]. Digabungkan dan diringkas dari Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm 4/534,
Taisîr al-Karîm ar-Rahmân hlm. 390 dan Aisar at-Tafâsir 2/193.
[2]. Lihat Tafsîr aL-Qurthubi 9/107. Akhir perkataan Ibnu ‘Abbâs semisal
dengan apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 3297 dan yang
lainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 955.
[3]. Lihat Jâmi’ al-‘Ulûm wal-Hikam hal. 235.
[4]. Kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad hal. 115 dan Ma’âlimut-Tanzîl 4/203.
[5]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 1/199.
[6]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 1/199.
[7]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam hal.236.
[8]. Lihat Tharîq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’âdatain hal. 73.
[9]. Yaitu ayat yang kita bahas ini.
[10]. Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami
ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka
(ber-istiqâmah), tidak ada ketakutan pada diri mereka dan tidak pula
mereka bersedih.” (Al-Ahqâf: 13)
[11]. HR. Muslim no. 5059.
[12]. Az-Zuhd wa ar-Raqâ'iq , Ibnul-Mubârak no. 307, al-Mushannaf , Ibnu
Abi Syaibah no. 35600
[13]. HR. al-Bukhâri no. 1152.
[14]. HR. al-Bukhâri no. 16, dan Muslim 173.
[15]. Hilyatul-Auliyâ’ 3/147
[16]. HR. Muslim no. 389
[17]. HR. Ahmad no. 6650, dihasankan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth
[18]. Maksudnya, di tengah malam yang sangat gelap tidak ada yang bisa
dijadikan sumber penerangan kecuali bara api. Apabila dia tidak
memegangnya, maka dia tidak bisa selamat di jalan yang penuh rintangan,
seperti: jalan berduri atau di pegunungan yang penuh dengan tebing.
Apabila dia tidak berjalan, bahaya masih juga mengancamnya, seperti: dia
akan diserang binatang buas atau yang lainnya. Sehingga tidak ada
pilihan lain, kecuali harus berjalan dengan membawa bara api yang nanti
akan melukai tangannya.
[19]. HR. at-Tirmidzi no. 2260. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam
ash-Shahîhah no. 957.
Sumber : http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar