Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Pertama:
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Bab Ini.
1. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu,
ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ
الْفُرُوْجَ.
‘Syarat yang paling layak engkau penuhi ialah apa yang membuat kemaluan
(isterimu) dihalalkan untukmu."[1]
2. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa ‘Ali meminang puteri Abu Jahal,
Fathimah mendengar hal itu lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam seraya mengatakan, "Kaummu menyangka bahwa engkau
tidak marah untuk (membela) puterimu. ‘Ali akan menikahi puteri Abu
Jahal." Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, lalu dia
mendengarnya ketika menyaksikan beliau berkhutbah: "Amma ba’du. Aku
telah menikahkan (puteriku) kepada Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, lalu ia
berkata dengan jujur kepadaku. Dan sesungguhnya Fathimah adalah darah
dagingku dan aku tidak suka ada yang menyakitinya. Demi Allah, tidak
akan berkumpul puteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
puteri musuh Allah pada satu pria." Lalu ‘Ali membatalkan
pinangannya.[2]
Kedua:
Pendapat Para Ulama Mengenai Hal Itu.
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Sesungguhnya hak suatu syarat
adalah untuk dipenuhi, Imam asy-Syafi'i dan kebanyakan ulama menyatakan:
"Ini difahami sebagai syarat-syarat yang tidak menafikan konsekuensi
pernikahan, bahkan merupakan konsekuensi dan tujuannya. Seperti
disyaratkannya mempergauli dengan ma’ruf, memberi nafkah, pakaian, dan
tempat tinggal kepadanya dengan cara yang ma’ruf. Suami tidak boleh
mengurangi sedikit pun dari hak-haknya dan memberi bagian untuknya
seperti selainnya. Se-mentara wanita tidak boleh keluar dari rumah
suaminya kecuali dengan seizinnya, tidak berperilaku buruk terhadapnya,
tidak berpuasa sunnah tanpa seizin darinya, tidak mengizinkan (orang
lain) masuk rumahnya kecuali dengan izinya, dan tidak membelanjakan
hartanya kecuali dengan keridhaannya, serta hal lain semisalnya."[3]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Kita mempunyai (dalil) sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَحَقَّ مَا وَفَّيْتُمْ بِهِ مِنَ الشُّرُوْطِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ
بِهِ الْفَرْجَ.
‘Sesungguhnya syarat yang paling berhak kalian penuhi ialah apa (mahar)
yang membuat kemaluan (wanita) menjadi halal bagimu.’”
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شَرُوْطِهِمْ.
"Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka."
Karena ini adalah pendapat banyak Sahabat, dan kami tidak mengetahui
pihak yang menyelisihi mereka di masa mereka, maka ini adalah ijma’.
Al-Atsram meriwayatkan dengan sanadnya bahwa seseorang menikahi wanita
dan disyaratkan bagi wanita untuk tetap tinggal di rumahnya. Kemudian
dia ingin membawa isterinya, mereka (wali) mengadukannya kepada ‘Umar.
‘Umar berkata: "Untuknya syarat yang telah ditetapkannya." Mendengar hal
itu pria tersebut me-ngatakan: "Kalau begitu kami bercerai." ‘Umar
mengatakan: "Orang yang memutuskan hak-hak itu menurut syarat-syaratnya,
dan karena disyaratkan untuknya apa yang di dalamnya berisi manfaat.
Dan niat tidak menghalangi tujuan pernikahan. Jadi ini suatu kelaziman,
sebagaimana halnya seandainya disyaratkan terhadapnya agar me-nambah
mahar. Sedangkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ.
‘Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka ia adalah bathil.’
Yakni bukan dalam hukum Allah dan syari’atnya. Dan ini
disyari’atkan.”[4]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya: “Sebagian wali mensyaratkan terhadap
suami puterinya agar melanjutkan studi isterinya dan bekerja setelah
lulus pada saat akad pernikahan; apakah syarat ini dibolehkan? Apakah
hukum seandainya ia tidak melaksanakannya setelah pernikahan?”
Jawaban: Syarat yang diajukan terhadap suami, jika tidak diharamkan
secara syar’i dan dia rela dengan syarat tersebut, maka itu menjadi
keharusan atasnya. Yakni, dia harus melaksanakannya; berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ
الْفُرُوْجَ.
"Sesungguhnya syarat yang paling layak engkau penuhi ialah apa yang
membuat kemaluan (wanita) dihalalkan untukmu."[5]
Tetapi tidak sepatutnya isteri dan keluarganya mensyaratkan seperti yang
tersebut dalam pertanyaan. Bahkan sepatutnya mereka menjadikan perkara
itu sebagai kesepakatan di antara suami-isteri pasca pernikahan.
Seperti diketahui bahwa suami menikahi wanita untuk dijadikan sebagai
isteri yang mendidik anak-anaknya dan memperbaiki keadaannya, bukan
menjadi wanita karir yang tidak dilihatnya kecuali di sebagian waktu.
Memudahkan dalam perkara semacam ini dan tidak mensyaratkan sedikit pun
dari hal itu adalah yang lebih utama dan lebih baik.[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang seseorang yang bersumpah
bahwa dia tidak akan menikahi si fulanah, jika dia menikahinya dia akan
menceraikannya, kemudian terbersit olehnya untuk menikahinya; apakah dia
boleh menikahinya?
Ia menjawab : Alhamdulillaah. Ia boleh menikahinya dan talak tidak
terjadi dengannya jika ia menikahinya, menurut jumhur ulama Salaf. Dan
ini adalah mazhab asy-Syafi`i, Ahmad dan selainnya.
Jika disyaratkan dalam akad bahwa dia tidak akan memadu-nya, dan jika
dia memadunya maka wanita itu berhak memutuskan urusannya sendiri, maka
syarat ini shahih dan suatu kelaziman menurut madzhab Malik, Ahmad dan
selain keduanya. Ketika dia memadunya, maka wanita itu berhak memutuskan
urusannya sendiri; jika suka ia boleh meneruskan pernikahan dan jika
tidak maka ia boleh berpisah. Wallaahu a’lam.[7]
SYARAT-SYARAT YANG TIDAK DIHALALKAN DALAM AKAD:
Pertama:
Hadits-Hadits yang Menunjukkan Hal Itu.
1. Semua syarat yang menyelisihi Kitabullah adalah batal.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia
mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِيْ كِتَابِ اللهِ،
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَـاطِلٌ وَإِنْ
كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ، قَضَاءُ اللهِ أَحَقُّ، وَشَرْطُ اللهِ أَوْثَقُ.
"Mengapa orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada dalam
Kitabullah. Suatu syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka itu
batal, meskipun seratus syarat. Ketentuan Allah lebih benar, dan syarat
Allah lebih kuat."[8]
2. Wanita tidak boleh meminta agar madunya diceraikan, supaya laki-laki
itu menikahinya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ
صَحْفَتَهَا فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا.
"Tidak halal bagi seorang wanita meminta saudara perempuannya (madunya)
diceraikan agar dia dapat menggantikan posisinya. Sebab, dia hanya
mendapatkan apa yang ditentu-kan untuknya."[9]
Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h: "Arti litastafrigha shafhataha ialah
mencenderungkan pria tersebut kepadanya dan mengambil apa yang didapat
dari pernikahan, serta melebihi bagian yang pernah diterima madunya
bersamanya."[10]
Kedua:
Pendapat Para Ulama Mengenai Hal Itu.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Seandainya seseorang menikah
dengan gadis atau janda dengan disertai syarat bahwa ia boleh keluar
dari rumahnya kapan saja ia suka, boleh keluar dari negerinya, tidak
memadunya, tidak bepergian, atau syarat apa pun yang disyaratkannya yang
bila pernikahan dilangsungkan, maka ia harus melakukannya dan
menghalangi wanita itu terhadapnya, maka nikahnya sah dan syaratnya
batal.[11]
Imam Malik rahimahullah berkata dalam al-Muwaththa': “Syarat pernikahan
yang tidak dibolehkan -maka perkaranya menurut kami- bahwa jika
seseorang menyetujui syarat seorang wanita, meskipun syarat tersebut
(diajukan) pada saat akad pernikahan: ‘Bahwa aku tidak memadumu dan
tidak bepergian meninggalkanmu,’ maka itu tidak ada artinya (tidak
berdampak apapun) kecuali bila dalam hal itu ada sumpah dengan
mengaitkan talak atau memerdekakan (budak), maka itu wajib atasnya dan
lazim baginya.
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata: “Pengamalan inilah yang dipegang
oleh sebagian ulama dari para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, di antaranya ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, ia
mengatakan: ‘Jika seorang pria menikahi seorang wanita dan disyaratkan
untuknya supaya dia tidak membawanya keluar dari negerinya, maka ia
tidak boleh membawanya keluar.’ Ini adalah pendapat sebagian ulama dan
juga pendapat Imam asy-Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.”[12]
Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwa ia mengatakan: "Syarat Allah
(harus didahulukan) sebelum syarat wanita."[13]
Ketiga:
Ringkasan Masalah.
Ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi dari perkara-perkara yang mubah,
sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi yang mengutip dari Imam
asy-Syafi’i; seperti mensyaratkan agar mempergaulinya dengan ma’ruf,
memberi nafkah kepadanya, memberi pakaian kepadanya, dan memberi rumah
kepadanya. Dari pihak wanita disyaratkan supaya tidak keluar dari rumah
suaminya kecuali dengan seizinnya, dan tidak membelanjakan hartanya
kecuali dengan keridhaannya.
Sedangkan syarat-syarat yang tidak wajib dipenuhi karena menyelisihi
Kitabullah menurut Imam asy-Syafi’i; seperti tidak membawanya bepergian
atau tidak pergi kepadanya di malam hari, maka ini tidak wajib dipenuhi,
atau tidak memadunya, maka ini diperselisihkan.[14]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 2721) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1418) kitab
an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1127) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3281)
kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2139) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no.
1945) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 16851), ad-Darimi (no. 2203), kitab
an-Nikaah.
[2]. HR. Al-Bukhari (no. 3729) kitab Fadha-ilush Shahaabah, Muslim (no.
2449) kitab Fadha-ilush Shahaabah, Abu Dawud (no. 2069) kitab an-Nikaah,
Ibnu Majah (no. 1998) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 18432).
[3]. Komentar Syaikh Muhammad Fu-ad 'Abdul Baqi atas Shahiih Muslim
(II/1036).
[4]. Al-Mughni (VII/449) dengan diringkas.
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Fataawaa Islaamiyyah li Majmuu’ah minal Masyaayiikh (III/158).
[7]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/170).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 2156) kitab al-Buyuu’, Muslim (no. 1504) kitab
al-‘Itq, Abu Dawud (no. 3929) kitab al-‘Itq, an-Nasa-i (no. 3655) kitab
al-Buyuu’, Ibnu Majah (no. 2521) kitab al-Ahkaam, Malik (no. 1519) kitab
al-‘Itq wal Walaa'.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 5152) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1413) kitab
an-Nikaah.
[10]. Fat-hul Baari (IX/220).
[11]. Al-Umm (V/107).
[12]. Tuhfatul Ahwadzi (IV/231).
[13]. Syaikh al-‘Adawi mengatakan dalam Ahkaamun Nisaa' (vol. iii): “Ini
adalah atsar yang lemah.”
[14]. Tuhfatul Ahwadzi (IV/231).
Sumber : http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar