Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Mahar adalah apa yang diberikan kepada isteri berupa harta atau
selainnya dengan sebab pernikahan.
HUKUM KEBERADAANNYA.
Pertama:
Larangan Bermahal-mahal dalam Mahar.
Terdapat larangan bermahal-mahal dalam mahar dalam sejumlah hadits, kita
sebutkan di antaranya:
1. Apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hadrad al-Aslami bahwa
dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta
fatwa tentang wanita, maka beliau bertanya: "Berapa engkau memberi mahar
kepadanya?" Ia menjawab: "Dua ratus dirham." Beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُمْ تَغْرِفُوْنَ مِنْ بَطْحَاءَ مَا زِدْتُمْ.
"Seandainya kalian mengambil dari Bathha', niscaya kalian tidak
menambah."[1]
2. Ahmad meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ مِنْ يَمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيْرُ صَدَاقُهَا وَتَيْسِيْرُ
رَحِمُهَا.
"Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan
rahimnya."[2]
‘Urwah berkata: “Yaitu, memudahkan rahimnya untuk melahirkan.”
3. Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia
mengatakan: "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْـرُ النِّكَـاحِ أَيْسَـرُهُ.
'Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.'"[3]
Dalam riwayat Ahmad:
إِنَّ أَعْظَمَ النَّكَـاحِ بَرَكَةً أَيَْسَرُهُ مُؤْنَةً.
"Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah
maharnya."[4]
Di antara contoh yang harus kita ikuti dalam masalah meringankan mahar
dan tidak bermahal-mahal di dalamnya ialah sebagai berikut.
Kedua:
Menikahkan Dengan Bacaan Al-Qur-an Dan Tanpa Mahar (Harta).
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu
anhu, ia mengatakan, "Aku berada di tengah kaum di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang wanita berdiri lalu
mengatakan: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia menghibahkan dirinya
kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' (Dalam riwayat Malik:
“Sesungguhnya aku menghibahkan diriku kepadamu”). Beliau tidak
menjawabnya sedikit pun. Kemudian ia berdiri kembali lalu berkata:
'Wahai Rasulullah, dia menghibahkan dirinya kepadamu, maka bagaimana
pendapatmu mengenainya?' Beliau tidak menjawabnya sedikit pun. Kemudian
dia berdiri untuk ketiga kalinya lalu berkata: 'Dia telah menghibahkan
dirinya kepadamu, maka bagaimana pendapatmu mengenainya?' Lalu seorang
pria berdiri dan mengatakan, 'Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku
dengannya?' Beliau bertanya, 'Apakah engkau mempunyai sesuatu?' Ia
menjawab: 'Tidak.' Beliau bersabda: 'Pergilah, lalu carilah walaupun
cincin yang terbuat dari besi!' Ia pun pergi dan mencari, kemudian
datang seraya mengatakan: 'Aku tidak mendapatkan sesuatu, dan tidak pula
mendapatkan cincin dari besi.' Beliau bertanya: 'Apakah engkau hafal
suatu surat dari al-Qur-an?' Ia menjawab: 'Aku hafal ini dan itu.'
Beliau bersabda: 'Pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya,
dengan mahar surat al-Qur-an yang engkau hafal.'"[5]
Ketiga:
Rasul Shallallahu Alaihi Wa Sallam Merekomendasikan Pernikahan Dengan
Mahar Emas Seberat Biji.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf
menikahi seorang wanita dengan mahar seberat biji. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat keceriaan pengantin (padanya) lalu bertanya
kepadanya, maka dia menjawab: "Aku menikahi seorang wanita dengan mahar
seberat biji (emas)."[6] Dalam riwayat lain bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf
menikah dengan mahar seberat biji emas.
Keempat:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam Mengajarkan Kepada Kita
Kemudahan Dalam Mahar Agar Kita Meneladaninya.
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma, ia mengatakan, "Ketika ‘Ali menikah dengan Fathimah Radhiyallahu
anhuma dan hendak menggaulinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, 'Berikanlah sesuatu kepadanya.' Ia mengatakan, 'Aku
tidak mempunyai sesuatu.' Beliau bertanya, 'Di mana baju besimu
(دِرْعُكَ)?' Lalu ia memberikan baju besinya kepada Fathimah, kemudian
menggaulinya.'"[7]
Ad-dir’u adalah baju yang dipakai oleh orang yang berperang untuk
melindungi diri dari berbagai bahaya.
Kelima:
Kisah Seorang Wanita Yang Memberitahu Kaum Pria Dan Wanita Supaya
Bersikap Toleran Dalam Mahar.
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dari Tsabit, dari Anas, ia mengatakan, "Abu
Thalhah meminang Ummu Sulaim, maka ia mengatakan, 'Demi Allah, wahai Abu
Thalhah, orang sepertimu tidak akan ditolak. Tetapi engkau adalah
seorang kafir, sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak halal bagiku
menikah denganmu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku dan aku
tidak meminta selainnya.' Lalu Abu Thalhah masuk Islam, dan itulah
maharnya."
Tsabit berkata: "Aku tidak mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia
maharnya daripada Ummu Sulaim, yaitu Islam. Lalu Abu Thalhah
menggaulinya, dan dia melahirkan anak untuknya."[8]
Keenam:
Mahar Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan, "Mahar kami ketika di tengah-tengah kami masih ada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah 10 auqiyah (ons) perak,'
sambil menggenggam dengan kedua tangannya, yaitu 400 dirham."[9]
Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَعْطَى فِيْ صَدَاقِ امْرَأَةٍ مِلْءَ كَفَّيْهِ سَوِيْقًا أَوْ
تَمْرًا فَقَدِ اسْتَحَلَّ.
"Barangsiapa yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh dua telapak
tangannya untuk mahar seorang wanita, maka halal baginya untuk
menggaulinya."[10]
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia
menuturkan: "Seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu mengatakan, 'Aku menikah dengan seorang wanita dari Anshar.' Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: 'Apakah engkau telah
melihatnya; sebab ada sesuatu di mata orang Anshar?' Ia menjawab, 'Aku
telah melihatnya.' Beliau bertanya: 'Dengan mahar berapa engkau
menikahinya?' Ia menjawab: 'Sebanyak 4 auqiyah.' Mendengar hal itu,
beliau bersabda (keheranan): 'Sebanyak empat auqiyah! Seolah-olah
menggali perak dari besarnya gunung ini. Kami tidak mempunyai sesuatu
yang dapat kami berikan kepada kalian. Tetapi semoga saja kami akan
mengutusmu dalam suatu delegasi di mana engkau akan mendapat-kan
darinya.' Lalu beliau mengutus suatu delegasi kepada Bani ‘Abs, dan
beliau mengutus orang ini di antara mereka."[11]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Artinya, larangan memperbanyak
mahar ini bertalian dengan keadaan suami."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Seseorang
dimakruhkan memberi mahar kepada wanita dengan suatu mahar yang
menyulitkan dirinya sendiri jika ia membayarkannya kontan, dan ia tidak
mampu untuk melunasinya jika sebagai hutang."[12]
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah bahwa
seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar sepasang sandal.
Yakni, mahar dari suaminya berupa sepasang sandal yang dipakainya di
kedua kakinya. Sepertinya suaminya adalah tukang sepatu. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Apakah engkau ridha
terhadap diri dan hartamu dengan sepasang sandal?” Ia menjawab: “Ya.”
Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkannya.[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Disunnahkan
meringankan mahar dan tidak melebihi mahar yang diperoleh para isteri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anak-anaknya. ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bahwa beliau bersabda: ‘Wanita yang paling besar keberkahannya ialah
yang paling ringan maharnya.’ Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: ‘Sebaik-baik mereka (wanita) ialah
yang paling mudah maharnya.’ Dari al-Hasan al-Bashri, ia menuturkan:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Nikahkanlah kaum
wanita dengan kaum pria, tapi jangan bermahal-mahal dalam mahar." ‘Umar
bin al-Khaththab berkhutbah kepada manusia dengan pernyataannya:
‘Ingatlah, janganlah kalian bermahal-mahal dalam mahar wanita. Sebab,
seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu termasuk suatu kemuliaan di
dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, pastilah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam orang yang paling utama di antara kalian (dalam hal
ini), (namun) beliau tidak pernah memberi mahar kepada seseorang dari
isteri-isterinya dan tidak pula meminta mahar untuk seseorang dari
puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah (ons) perak.’ At-Tirmidzi
menilainya sebagai hadits shahih.”[14]
Ketujuh:
Sebagian Mahar Beliau Shallallahu ‘Alaiahi Wa Sallam Kepada
Isteri-Isterinya (Ummahatul Mukminin).
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Salamah bin
‘Abdirrahman Radhiyallahu anhu, ia mengatakan: "Aku bertanya kepada
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bagaimana mahar para isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ia menjawab, 'Mahar beliau untuk
isteri-isterinya ialah 12 auqiyah (yakni berupa perak), dan nasy Tahukah
engkau apakah nasy itu?' Aku menjawab, 'Tidak.' Ia mengatakan,
'Setengah uqiyah, (sehingga berjumlah 12,5 uqiyah) yaitu 500 dirham.
Itulah mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
isteri-isterinya.'"[15]
Kedelapan:
Khutbah ‘Umar bin al-Khaththab Tentang Mahar.
Tatkala Khalifah ar-Rasyid ‘Umar bin al-Khaththab diangkat sebagai
khalifah untuk mengurus berbagai urusan kaum muslimiin dan beliau
mengetahui sebagian orang bermahal-mahal dalam mahar, maka beliau
menaiki mimbar pada suatu hari untuk memberikan khutbah di hadapan para
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan khutbah yang sangat
mendalam: "Wahai manusia, janganlah bermahal-mahal dalam mahar wanita.
Sebab, seandainya (bermahal-mahal dalam) mahar itu merupakan kemuliaan
di dunia atau merupakan ketakwaan di sisi Allah, niscaya yang paling
berhak melakukannya di antara kalian adalah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam; namun demikian, beliau tidak pernah memberi mahar
kepada seorang pun dari isteri-isterinya dan tidak pula seorang dari
puteri-puterinya lebih dari 12 auqiyah -yakni 500 dirham-. Seorang pria
membayar mahal mahar seorang wanita sehingga dia memusuhinya dalam
hatinya, dan hingga dia mengatakan: ‘Aku terbebani peluh girbah[16]
untuk mendapatkanmu."[17] Yakni, aku terbebani dalam mendapatkanmu,
berupa rasa penat dan berat, sehingga berpeluh seperti peluh girbah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Apa yang dilakukan sebagian
orang yang tidak ramah, sombong dan riya' berupa memperbanyak mahar
untuk tujuan riya dan bermegah-megahan, sebenarnya mereka tidak berniat
mengambilnya dari suami, dan dia tidak pula berniat memberikannya kepada
mereka. Ini adalah kemunkaran yang buruk, menyelisihi Sunnah, keluar
dari syari’at."[18]
Di sini kami kemukakan pernyataan Syaikh ash-Shabuni: “Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menyatakan: ‘Jika datang kepada kalian orang
yang mempunyai jutaan pound, orang yang memiliki gedung dan mobil, atau
putera fulan, dan fulan.’ Tapi beliau menyatakan: ‘Siapa yang engkau
ridhai agama dan akhlaknya.’ Agama dan akhlak adalah prinsip dan
landasan dalam perkara pernikahan. Sedangkan harta adalah persoalan
kedua yang tidak mempunya pengaruh dalam kebahagiaan rumah tangga.
Sebagaimana perkataan penya’ir:
‘Aku tidak melihat kebahagiaan karena mengumpulkan harta
Tetapi ketakwaan itulah kebahagiaan sejati.’”[19]
Kesembilan:
Dianjurkan Bersegera Menyerahkan Mahar.
Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia mengatakan,
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar
aku tidak memasukkan isteri kepada suaminya sebelum dia memberikan
sesuatu kepadanya."[20]
Menurut ulama, perintah ini adalah untuk anjuran.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun yang dinukil
dari sebagian Salaf bahwa mereka memperbanyak pemberian mahar kepada
wanita-wanita (yang mereka nikahi), itu tidak lain karena harta mereka
berlimpah. Mereka mendahulukan penyerahan seluruh mahar sebelum
menggauli, mereka tidak menundanya sedikit pun. Dan siapa yang mempunyai
kemudahan dan mempunyai harta lalu dia senang memberi isterinya mahar
yang banyak, maka tidaklah mengapa."[21]
Kesepuluh:
Mahar adalah Hak Isteri Yang Tidak Boleh Diambil.
Syari’at yang bijak ini berkeinginan memelihara hak wanita dalam
kepemilikan mahar tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengancam siapa yang menyia-nyiakan hak ini dengan ancaman yang sangat
keras. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَعْظَمَ الذُّنُوْبِ عِنْدَ اللهِ رَجُلٌ تَزَوَّجَ امْرَأَةً،
فَلَمَّا قَضَـى حَـاجَتَهُ مِنْهَا طَلَّقَهَا، وَذَهَبَ بِمَهْرِهَـا،
وَرَجُلٌ يَسْتَعْمِلَ رَجُلاً فَذَهَبَ بِأُجْرَتِهِ، وَآخَرَ يَقْتُلُ
دَابَّةً عَبَثًا.
"Dosa paling besar di sisi Allah ialah orang yang menikahi wanita lalu
ketika telah menyelesaikan hajatnya darinya, maka dia menceraikannya dan
pergi dengan membawa maharnya, orang yang mempekerjakan seseorang lalu
pergi dengan membawa upahnya dan seorang yang membunuh binatang dengan
sia-sia."[22]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan.” [An-Nisaa’/4: 4].
Yakni, pemberian dari Allah sebagai permulaan.
An-nihlah ialah pemberian dengan kerelaan hati.
Dia berfirman:
فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah
maskawin mereka dengan patut.” [An-Nisaa’/4: 25]
فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً
“Maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna).”
[An-Nisaa’/4: 24].
Mahar adalah pemberian yang dilindungi yang diwajibkan Allah untuk
diberikan kepada wanita; bukan sebagai imbalan sesuatu yang wajib dia
berikan, kecuali memenuhi hak-hak suami isteri, sebagaimana halnya dia
tidak dapat digugurkan -walaupun wanita itu rela- kecuali setelah
akad.[23]
Seandainya seorang pria telah menjalin akad dengan wanita kemudian
ditemukan padanya aib yang bisa membatalkan akad sebelum menyetubuhinya,
maka wanita tidak mendapatkan apa-apa jika si pria membatalkan akad.
Adapun seandainya aib itu nampak setelah disetubuhi dan ia hendak
membatalkan akad, maka wanita itu mendapatkan mahar. Dan pria ini
mempunyai hak terhadap pihak yang menikahkannya, yaitu kedua orang tua
isteri atau walinya; jika mereka menerima hal itu, maka apa yang ada di
sisi Allah itulah yang lebih baik dan lebih kekal pada hari yang tiada
ber-manfaat harta dan anak-anak, sebagaimana penjelasannya akan
di-sebutkan dalam bab “Aib pada Wanita yang Dinikahi”.
Di sini muncul pertanyaan: Apakah seseorang boleh menikah dengan mahar
puteri atau saudara perempuannya?
Jawaban: Mahar puteri atau saudara perempuannya adalah salah satu hak
wanita tersebut dan salah satu bagian yang dimilikinya. Jika dia
menghibahkannya kepadanya atau sebagian darinya dengan kesadaran, maka
hal itu secara syari’at dibolehkan. Jika dia tidak menghibahkan
kepadanya, maka tidak boleh ia mengambilnya atau mengambil sesuatu
darinya karena mahar menjadi hak prerogatifnya. Bagi ayah wanita ini
secara khusus bisa memiliki apa yang tidak merugikannya, dan tidak
mengkhususkannya kepada sebagian anak-anaknya, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ
مِنْ كَسْبِكُمْ.
"Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal) dari
usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah (hasil) dari
usaha kalian."[24]
Dalam sebuah riwayat an-Nasa-i:
إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوْا مِنْ كَسْبِ
أَوْلاَدِكُمْ.
"Sesungguhnya anak-anak kalian adalah salah satu usaha kalian yang
terbaik, maka makanlah dari usaha anak-anak kalian."[25]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Ahmad (no. 15279), dan sanadnya shahih.
[2]. HR. Ahmad (no. 23957), al-Hakim (II/181), ia menshahihkannya dan
menilainya sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim, tapi keduanya
tidak mengeluar-kannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi, dan dihasankan
oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (II/251) dan dalam
al-Irwaa' (VI/250).
[3]. HR. Abu Dawud (no. 2117) kitab an-Nikaah, al-Hakim (II/182), ia
menshahih-kannya dan menilainya sesuai syarat Syaikhan
(al-Bukhari-Muslim), dan Syaikh al-Albani menilainya sesuai syarat
Muslim. Lihat al-Irwaa' (VI/345).
[4]. HR. Ahmad (no. 24595).
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 5149) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1425) kitab
an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3280)
kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 3111) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no.
1889) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 22292) kitab an-Nikaah, Malik (no.
1118) kitab an-Nikah, ad-Darimi (no. 2201) kitab an-Nikaah.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 5148) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1427) kitab
an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1094) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 2109)
kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1907) kitab an-Nikaah, Ahmad (no.
12274) kitab an-Nikaah, Malik (no. 1157) kitab an-Nikaah, ad-Darimi (no.
2204) kitab an-Nikaah.
[7]. HR. Abu Dawud (no. 2126) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3375)
kitab an-Nikaah, dan semua perawinya tsiqat.
[8]. HR. An-Nasa-i (no. 3341) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i (no. 3133).
[9]. HR. An-Nasa-i (no. 3348), kitab an-Nikaah; Ahmad (no. 8589), dan
ini adalah lafazhnya, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahiih an-Nasa-i (no. 3140).
[10]. HR. Muslim (no. 1405) kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 2110) kitab
an-Nikaah dan ini redaksi darinya, Ahmad (no. 14410). Makna ‘istahalla’
ialah halal baginya untuk menggaulinya.
[11]. HR. Muslim (no. 1424), kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 3234) kitab
an-Nikaah, Ahmad (no. 7783, 7919).
[12]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192).
[13]. HR. At-Tirmidzi (no. 1113), kitab an-Nikaah, dan ia mengatakan:
"Hadits hasan shahih," Ibnu Majah (no. 1888), kitab an-Nikaah, Ahmad
(no. 15252).
[14]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/192).
[15]. HR. Muslim (no. 1424) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3347) kitab
an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2105) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1886)
kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 24105), ad-Darimi (no. 2199) kitab
an-Nikaah.
[16]. Girbah: Kantung air yang terbuat dari kulit binatang ternak yang
telah di-samak.-ed.
[17]. HR. At-Tirmidzi (no. 1114) kitab an-Nikaah, ia berkata: “Hadits
hasan shahih.” Abu Dawud (no. 2106) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no.
3349) kitab an-Nikaah, dan lafazh ini miliknya, Ibnu Majah (no. 1887)
kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 287), ad-Darimi (no. 2200) kitab an-Nikaah.
Syaikh al-Albani menshahihkan-nya dalam Shahiih Ibni Maajah (no. 1532),
al-Misykaat (no. 3204), as-Silsila-tush Shahiihah (no. 1834).
[18]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/193).
[19]. Kitab az-Zawaaj al-Islaami al-Mubakkir (no. 109).
[20]. HR. Abu Dawud (no. 2128) kitab an-Nikaah, dan Abu Dawud mengatakan
bahwa Khaitsamah tidak pernah mendengar dari ‘Aisyah, dan semua
perawinya tsiqat kecuali Syuraik, ia adalah shaduq yang sering melakukan
kesalahan, Ibnu Majah (no. 1992) kitab an-Nikaah.
[21]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/195).
[22]. HR. Al-Hakim (II/182), dan menilainya sebagai hadits shahih sesuai
kriteria al-Bukhari serta disetujui oleh adz-Dzahabi; dan dihasankan
oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 999).
[23]. ‘Audatul Hijaab (II/298).
[24]. HR. At-Tirmidzi (no. 1358) kitab al-Ahkaam, dan dia menilainya
sebagai hadits hasan shahih, Abu Dawud (no. 3530) kitab al-Buyuu’,
an-Nasa-i (no. 4450), Ibnu Majah (no. 2290) kitab at-Tijaaraat, Ahmad
(no. 25126), Mu’jamul Ausath (no. 4486, 4487). Dan lihat, Afraahunaa maa
Lahaa wamaa ‘alaihaa wa Mu’aalajah Ba’dhazh Zhawaahir (hal. 137).
[25]. HR. An-Nasa-i (no. 4449) kitab al-Buyuu’, at-Tirmidzi (no. 1358)
kitab al-Buyuu’, Abu Dawud (no. 3528) kitab al-Buyuu’, Ibnu Majah (no.
2137) kitab at-Tijaaraat, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam
Shahiih an-Nasa-i (no. 4145).
Sumber : http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar