Oleh
Ustadz Muhammad Ashim bin Musthofa
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ
فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ
ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.
2. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.
3. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat. [an-Nasr/110 : 1-3]
Surat an-Nashr, dikenal juga dengan sebutan surat at-Taudi’ (perpisahan)
[1]. Surat yang berjumlah tiga ayat ini disepakati oleh para ulama
sebagai madaniyyah. Maksudnya, turun setelah peristiwa hijrah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ke Madinah, dan termasuk surat yang
terakhir diturunkan. [2]
Dalilnya yaitu:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ قَالَ قَالَ لِي
ابْنُ عَبَّاسٍ تَعْلَمُ ( وفي لفظ: تَدْرِي ) آخِرَ سُورَةٍ نَزَلَتْ مِنْ
الْقُرْآنِ نَزَلَتْ جَمِيعًا قُلْتُ : نَعَمْ . إِذَا جَاءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ قَالَ صَدَقْتَ
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu 'anhuma bertanya kepadaku: “Engkau tahu surat terakhir dari
al Qur`an yang turun secara keseluruhan?" Ia menjawab: “Ya, idza ja`a
nashrullahi wal fath”. Beliau menjawab: “Engkau benar”.[3]
Secara pasti, terdapat silang pendapat di kalangan ulama tafsir. Ibnu
Rajab rahimahullah menyimpulkan bahwa surat ini turun sebelum Fathu
Makkah. Karena firman Allah :
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
Menunjukkan dengan sangat jelas kalau penaklukan kota Mekkah belum
terjadi [4].
PENJELASAN AYAT
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ
1. (Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan).
Kata nashr, artinya al ‘aun (pertolongan).[5]
Yang dimaksud dengan nashrullah dalam ayat ini, menurut Ibnu Rajab
rahimahullah ialah pertolongan-Nya bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam saat berhadapan dengan musuh-musuhnya, sehingga berhasil
beliau menundukkan bangsa ‘Arab semuanya dan berkuasa atas mereka,
termasuk atas suku Quraisy, Hawazin dan suku-suku lainnya. [6]
Secara eksplisit, surat ini memuat bisyarah (kabar gembira) bagi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Muslimin. Syaikh
‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata,"Dalam surat ini terdapat
bisyarah dan perintah kepada Rasul-Nya n pada saat kemunculannya. Kabar
gembira ini berupa pertolongan Allah bagi Rasul-Nya dan peristiwa
penaklukan kota Mekkah dan masuknya orang-orang ke agama Allah
lSubhanahu wa Ta'ala dengan berbondong-bondong."[7]
Dalam menjelaskan pengertian ayat di atas, Syaikh Abu Bakr al Jazairi
mengungkapkan: "Jika telah datang pertolongan Allah bagimu wahai
Muhammad, hingga engkau berhasil mengalahkan para musuhmu di setiap
peperangan yang engkau jalani, dan datang anugerah penaklukkan, yaitu
penaklukan kota Mekkah, Allah membukanya bagi dirimu, sehingga menjadi
wilayah Islam, yang sebelumnya merupakan daerah kekufuran”. [8]
Adapun pengertian al fathu pada surat ini adalah fathu Makkah. Yakni
penaklukan kota suci Mekkah. Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Yang
dimaksud dengan al fathu yaitu fathu Makkah. (Ini merupakan) sebuah
pendapat yang sudah bulat.” [9]
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari rahimahullah, Imam Ibnul
Jauzi rahimahullah dan Imam al Qurthubi rahimahullah juga menegaskan
pendapat senada. [10]
وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا
2. (Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong).
Disebutkan dalam Shahihul-Bukhari, dari ‘Amr bin Salimah, ia berkata:
وَكَانَتْ الْعَرَبُ تَلَوَّمُ بِإِسْلَامِهِمْ الْفَتْحَ فَيَقُولُونَ
اتْرُكُوهُ وَقَوْمَهُ فَإِنَّهُ إِنْ ظَهَرَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ نَبِيٌّ
صَادِقٌ فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ
بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ
(Dahulu) bangsa Arab menunggu-nunggu al Fathu (penaklukan kota Mekah)
untuk memeluk Islam. Mereka berkata: "Biarkanlah dia (Rasulullah) dan
kaumnya. Jika beliau menang atas mereka, berarti ia memang seorang nabi
yang jujur". Ketika telah terjadi penaklukan kota Mekkah, setiap kaum
bersegera memeluk Islam, dan ayahku menyegerakan keIslaman kaumnya
Shallallahu 'alaihi wa sallam.[11]
Menurut Imam al Qurthubi, peristiwa tersebut terjadi ketika kota Mekkah
berhasil dikuasi.
Bangsa Arab berkata: "Bila Muhammad berhasil mengalahkan para penduduk
kota suci (Mekkah), padahal dulu mereka dilindungi oleh Allah dari
pasukan Gajah, maka tidak ada kekuatan bagi kalian (untuk menahannya).
Maka mereka pun memeluk Islam secara berbondong-bondong”. [12]
Tidak berbeda dengan keterangan itu, Ibnu Katsir rahimahullah juga
memberi penjelasan: “Saat terjadi peristiwa penaklukan Mekkah,
orang-orang memeluk agama Allah secara berbondong-bondong. Belum lewat
dua tahun, Jazirah Arab sudah tersirami oleh keimanan dan tidak ada
simbol di seluruh suku Arab, kecuali simbol Islam. Walillahil-Hamdu wal
minnah”.[13]
Ayat ini juga menandakan, bahwa kemenangan akan terus berlangsung bagi
agama ini dan akan semakin bertambah saat dilantunkannya tasbih, tahmid
dan istighfar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini
merupakan bentuk syukur. Faktanya yang kemudian dapat kita jumpai pada
masa khulafaur-rasyidin dan generasi setelah mereka.
Pertolongan Allah Subhanahu wa Ta'ala itu akan berlangsung terus-menerus
sampai Islam masuk ke daerah yang belum pernah dirambah oleh agama
lainnya. Dan ada kaum yang masuk Islam, tanpa pernah ada yang masuk ke
agama lainnya. Sampai akhirnya dijumpai adanya pelanggaran pada umat ini
terhadap perintah Allah, sehingga mereka dilanda bencana, yaitu berupa
perpecahan dan terkoyaknya keutuhan mereka.[14]
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
3. (Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun
kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Imam al Qurthubi rahimahullah menurutkan penafsirannya: "Jika engkau
shalat, maka perbanyaklah dengan cara memuji-Nya atas limpahan
kemenangan dan penaklukan kota Mekkah. Mintalah ampunan kepada Allah”.
Inilah keterangan yang beliau rajihkan.[15
.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا صَلَّى النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ عَلَيْهِ
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَّا يَقُولُ فِيهَا سُبْحَانَكَ
رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Tidaklah Rasulullah n
mengerjakan shalat setelah turunnya surat ini, kecuali membaca Subhanaka
Rabbana wa bihamdika Allahummaghfirli (Maha Suci Rabb kami dan pujian
kepada-Mu, ya Allah ampunilah aku)". [16]
Sejumlah sahabat mengartikan ayat ini dengan berkata: "(Maksudnya) Allah
memerintahkan kami untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya,
manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah menaklukkan
(daerah-daerah) bagi kita". Pernyataan ini muncul, saat 'Umar bin al
Khaththab Radhiyallahu 'anhu mengarahkan pertanyaan kepada mereka
mengenai kandungan surat an-Nashr.[17]
Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari penjelasan ini dengan berkata:
"Makna yang ditafsirkan oleh sebagian sahabat yang duduk bersama Umar
Radhiyallahu 'anhum ialah, bahwa kita diperintahkan untuk memuji Allah
dan bersyukur kepada-Nya ketika Dia telah menaklukkan wilayah Madain dan
benteng-bentengnya, yaitu dengan melaksanan shalat karena-Nya dan
memohon ampunan kepada-Nya merupakan pengertian yang memikat lagi tepat.
Terdapat bukti penguat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan
shalat delapan raka'at pada hari penaklukan kota Mekkah. Dalam Sunan Abu
Daud termaktub bahwa beliau mengucapkan salam pada setiap dua raka'at
di hari penaklukan kota Mekkah. Demikianlah yang dilakukan Sa’ad bin
Abil Waqqash Radhiyallahu 'anhu pada hari penaklukan kota Mada-in".[18]
إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
4. (Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat).
Maksudnya, Allah Maha menerima taubat orang-orang yang bertasbih dan
memohon ampunan. Dia mengampuni, merahmati mereka dan menerima taubat
mereka. Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja yang sudah
ma’shum (terpelihara dari dosa-dosa) diperintahkan untuk beristighfar,
maka bagaimanakah dengan orang lain?[19]
ISYARAT LAIN DARI MAKNA KEMENANGAN
Selain makna yang sudah dikemukakan di atas, juga terdapat pengertian
lain yang terkandung dalam surat yang mulia ini.
Menurut Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah, ayat ini menjadi
isyarat mengenai (datangnya) ajal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang sudah dekat dan hampir tiba. Bahwa umur beliau adalah umur
yang mulia, Allah bersumpah dengannya. Sudah menjadi kebiasaan pada
perkara-perkara yang mulia ditutup dengan istighfar, misalnya shalat,
haji dan ibadah lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan
Rasul-Nya untuk mengucapkan pujian dan istighfar dalam keadaan seperti
ini, sebagai isyarat tentang ajal beliau yang akan berakhir.
(Maksudnya), hendaknya beliau bersiap-siap untuk menjumpai Rabbnya dan
menutup usianya dengan amalan terbaik yang ada pada beliau alaihis
shalatu wassalam.
Ibnul Jauzi rahimahullah sendiri memberikan pandangannya mengenai ayat
ini. Beliau rahimahullah berkata,"Para ulama tafsir mengatakan, telah
disampaikan dan diberitahukan kabar wafat beliau, dan sungguh waktu ajal
beliau sudah dekat. Maka diperintahkan untuk bertasbih dan istighfar
guna menutup usia dengan tambahan amalan shalih.” [20]
Begitu pula yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakr al Jazairi: “Ayat ini
membawa tanda dekatnya ajal bagi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam."
[21]
Imam al Bukhari rahimahullah dan lainnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu 'anhuma, ia bercerita:
Dahulu ‘Umar memasukkan diriku bersama orang-orang tua yang ikut serta
dalam perang Badar. Sepertinya sebagian mereka kurang menyukai
kehadiranku. Ada yang berkata: "Kenapa (anak) ini masuk bersama kita.
Padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?"
‘Umar menjawab,"Sungguh, kalian mengetahui (siapa dia)," maka suatu hari
‘Umar Radhiyallahu 'anhu memanggilku dan memasukkanku bersama mereka.
Tidaklah aku berpikir alasan beliau mengundangku, selain ingin
memperlihatkan kapasitasku kepada mereka.
Beliau berkata (kepada orang-orang): “Apakah pendapat kalian tentang
firman Allah:"idza ja`a nashrullahi wal fath”.
Mereka menjawab,"Allah memerintahkan kami untuk memuji dan memohon
ampunan kepada-Nya manakala pertolongan Allah telah tiba dan sudah
menaklukkan (daerah-daerah) bagi kita.” Sebagian orang terdiam (tidak
menjawab). Kemudian ‘Umar Radhiyallahu 'anhu beralih kepadaku: “Apakah
demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma ) menjawab,"Tidak!”
‘Umar bertanya,"Apa pendapatmu?”
Aku (Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menjawab,"Itu adalah (kabar
tentang) ajal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Subhanahu
wa Ta'ala memberitahukannya kepada beliau. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman ""idza ja`a nashrullahi wal fath”. Dalam keadaan seperti itu
terdapat tanda ajalmu, maka bertasbihlah dan mintalah ampunan
kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.”
‘Umar Radhiyallahu 'anhu berkomentar: “Tidaklah yang kuketahui darinya
(surat itu), kecuali apa yang engkau sampaikan”.[22]
Imam Muslim meriwayatkan dari 'Aisyah, ia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ
يَقُولَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ
الْكَلِمَاتُ الَّتِي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُولُهَا قَالَ جُعِلَتْ لِي
عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِي إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا إِذَا جَاءَ نَصْرُ
اللَّهِ وَالْفَتْحُ إِلَى آخِرِ السُّورَةِ
Sebelum wafat, Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika
astaghfiruka wa atubu ilaik. Aisyah bertanya,"Wahai Rasulullah untuk
apakah kata-kata yang aku melihat engkau tidak biasa engkau ucapkan?"
Beliau menjawab,"Telah ditetapkan bagiku sebuah tanda pada umatku. Bila
aku telah menyaksikannya, aku akan mengucapkannya (kata-kata tadi) :
idza ja`a nashrullahi wal fath …dst." [23]
Dalam riwayat lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ
قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ
إِلَيْهِ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ
قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ
إِلَيْهِ فَقَالَ خَبَّرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِي
فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ سُبْحَانَ اللَّهِ
وَبِحَمْدِهِ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فَقَدْ رَأَيْتُهَا
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ فَتْحُ مَكَّةَ ...
Rasulullah memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa
atubu ilaik. Maka aku bertanya: "Aku melihatmu memperbanyak ucapan
Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik," Beliau
menjawab,"Rabbku telah memberitahukan kepadaku, bahwasanya aku akan
menyaksikan tanda pada umatku. Jika aku melihatnya, aku akan
memperbanyak ucapan Subhanaka wa bihamdika astaghfiruka wa atubu ilaik.
Sungguh aku telah menyaksikannya idza ja`a nashrullahi wal fath." Al
fathu, maksudnya penaklukan kota Mekkah…dst. [24]
Imam an-Nasa-i meriwayatkan dalam kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu 'Abbas
mengatakan tentang surat an-Nashr ini: "Ketika diturunkan, ia (surat
an-Nashr) mengabarkan wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka beliau lebih meningkatkan ketekunan dalam urusan akhirat".[25]
APA YANG DIAMPUNI DARI DIRI RASULULLAH n YANG MULIA?
Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih tetap memanjatkan
permohonan ampunan, padahal dosa-dosa beliau sudah terampuni, baik yang
sudah berlalu maupun yang akan datang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya mengangkat pandangan Ibnu
Katsir yang menggambarkan kesempurnaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Ibnu Katsir berkata: "Pada seluruh urusannya, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berada dalam ketaatan, kebaikan, istiqamah
yang tidak terdapat pada manusia lainnya, baik dari kalangan
orang-orang terdahulu, maupun generasi kemudian. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah manusia paling sempurna secara mutlak, dan
pemimpin manusia di dunia dan akhirat”. [26]
Al Qadhi Ibnul ‘Arabi mengungkapkan alasannya, para ulama hadits
meriwayatkan, bila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa,
beliau memanjatkan doa yang berbunyi:
رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي وَجَهْلِي وَإِسْرَافِي فِي أَمْرِي كُلِّهِ
وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي خَطَايَايَ
وَعَمْدِي وَجَهْلِي وَهَزْلِي وَكُلُّ ذَلِكَ عِنْدِي اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Ya Allah, ampunilah kesalahanku, tindak kebodohanku, sikap berlebihanku
dalam seluruh urusanku, dan yang Engkau lebih mengetahuinya. Ya Allah,
ampunilah kesalahan-kesalahanku, kesengajaanku dan kebodohanku,
gurauanku, semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah apa yang sudah
aku kerjakan dan apa yang belum aku kerjakan, apa yang aku sembunyikan
dan apa yang aku tampakkan. Engkaulah Dzat Yang mendahulukan (dan
menempatkannya pada tempatnya), dan Engkau Dzat yang mengundurkan (dan
menempatkannya pada tempatnya) dan Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.[27]
Selanjutnya, Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata: “Semua itu ada pada
diriku begitu banyak. Adapun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
(beliau) terbebas darinya. Hanya saja, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam menganggap (amalan) pribadinya sedikit, lantaran begitu besarnya
curahan nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada beliau.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memandang "kekurangan" dalam
menjalankan hak kenikmatan tersebut (dengan beribadah) sebagai
dosa-dosa. Sementara dosa-dosaku, aku lakukan dengan penuh kesengajaan,
tak acuh, dan merupakan pelanggaran yang nyata. Semoga Allah l masih
sudi membuka pintu taubat dan menganugerahkan perlindungan dengan
karunia, kemurahan dan rahmat-Nya, tiada Rabb selain-Nya”. [28]
Al Imam al Qurthubi, selain mengemukakan alasan senada di atas, beliau
juga membawakan beberapa keterangan lain. Bahwa maksud permohonan
ampunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah: (1) Memintakan
ampunan bagi umatmu. (2) Istighfar merupakan ibadah yang harus
dikerjakan, bukan untuk memohon ampunan, akan tetapi untuk ta’abbud
(ibadah). (3) Untuk mengingatkan umat beliau, agar jangan merasa aman
(dari dosa) sehingga meninggalkan istighfar. [29]
Al Qadhi ‘Iyadh berpendapat, permohonan ampunan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tersebut merupakan cermin ketawadhuan, ketaataan dan
ketundukan, serta ungkapan syukur beliau kepada Rabbnya, lantaran
mengetahui dosa-dosanya sudah diampuni.
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengutip keterangan Imam ath-Thabari
rahimahullah tentang masalah ini, yang menyampaikan alasan, bahwasanya
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam beristighfar ialah untuk
melaksanakan perintah Allah yang ditujukan kepada beliau, yaitu agar
bertasbih dan memohon ampunan, bila datang pertolongan dari Allah dan
penaklukan (kota Mekah). Selain itu, al Hafizh juga menukil penjelasan
al Qurthubi (penulis al Mufhim), bahwasannya terjadinya dosa dari para
nabi adalah mungkin, karena mereka juga orang-orang mukallaf, hingga
khawatir kalau itu terjadi pada diri mereka, dan akibatnya tersiksa
karenanya. Pendapat lainnya, yaitu agar umatnya meneladani beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.[31]
SEBAB-SEBAB DITURUNKAN AMPUNAN ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA
Mengenai faktor-faktor yang dapat mendatangkan turunnya maghfirah dari
Allah Subhanahu wa Ta'ala, Syaikh ‘Abdur Rahman as Sa’di rahimahullah
menghitungnya berjumlah empat.
Pertama : Taubat. Yaitu kembali kepada Allah dari keadaan yang tidak
disukai-Nya, baik zhahir maupun batin, menuju keadaan yang dicintai
oleh-Nya zhahir dan batin. Taubat ini akan menghapus dosa-dosa, besar
kecil sebelumnya.
Kedua : Keimanan. Yaitu pengakuan dan pembenaran yang mantap lagi
menyeluruh terhadap semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya yang
mengharuskan pelaksanaan amalan-amalan hati, yang diikuti dengan
amalan-amalan jawarih (anggota tubuh). Tidak disangsikan, kadar keimanan
dapat menghapus dosa-dosa yang sudah terjadi dan dapat menghalanginya
dari terjerumus ke dalam dosa. Sesungguhnya seorang mukmin, dengan
keimanan dan pancaran keimanan yang tertancap kuat di dadanya, ia tidak
sudi menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.
Ketiga : Amalan Shalih. Ini mencakup seluruh amalan, amalan hati, amalan
jawarih, ucapan-ucapan lisan. Sebab kebaikan akan menghapuskan
kesalahan-kesalahan.
Keempat : Istiqamah di atas keimanan dan hidayah serta berusaha
mendulang tambahannya.
Siapa saja yang berhasil menempuh empat langkah ini, bergembiralah
dengan mendapatkan ampunan dari Allah yang menyeluruh.[32] Pijakan yang
dipakai sebagai landasan Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah atas
keterangan tersebut, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ
اهْتَدَىٰ
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman,
beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar" [Thaha/20:82]
PELAJARAN DARI SURAT AN-NASHR
- Banyaknya anugerah Allah yang dikaruniakan kepada umat Islam.
- Kewajiban bersyukur manakala kenikmatan tercurahkan. Di antaranya
dengan sujud syukur.
- Kewajiban untuk selalu beristighfar setiap saat.
Maraji`:
1. Aisar at-Tafasir li Kalamil-'Aliyyil-Kabir, Abu Bakar Jabir al
Jazairi, Cetakan VI, Tahun 1423 H/ 2003 M, Maktabah al Ulum wal- Hikam,
al Madinah al Munawwarah, KSA.
2. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu 'Abdillah Muhammad bin Ahmad al
Qurthubi, Tahqiq Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M,
Dar al Kitab al ‘Arabi.
3. Fathul-Bari Syarhu Shahihil-Bukhari, al Hafizh Ibnu Hajar.
4. Ikmalul-Mu’lim bi Fawaidi Muslim, al Qadhi ‘Iyadh, Tahqiq Dr. Yahya
Isma’il, Darul Wafa, Cetakan I, Tahun 1419 H / 1998 M.
5. Tafsir ath-Thabari (Jami’ul Bayan ‘an Ta’wil Ayil-Qur`an), Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir ath- Thabari (224-310 H), Cetakan I, Tahun 1423
H/2002 M, Dar Ibni Hazm.
6. Tafsiru Suratin-Nashar, al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali, Tahqiq
'Abdullah al 'Ajmi.
7. Tafsir al Qur’an al ‘Azhim, Abu al Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir
(700-774 H), Tahqiq Sami bin Muhammad as Salamah, Cetakan I, Tahun 1422
H/2002 M, Dar ath-Thayibah, Riyadh.
8. Taisir al Karimir-Rahman fi Tafsiri Kalamil-Mannan, Abdur-Rahman bin
Nashir as-Sa’di, Tahqiq Abdur-Rahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Cetakan I,
Tahun 1422 H/2001 M, Dar as-Salam, Riyadh, KSA.
9. Taisirul-Lathifir Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, 'Abdur-Rahman
bin Nashir as-Sa’di, Cetakan III, Tahun 1414H /1993M.
10. Zadul-Masir fi ‘Ilmit-Tafsir, Abul Faraj Abdur-Rahman bin ‘Ali
(Ibnul Jauzi), Tahqiq 'Abdur-Razzaq al Mahdi, Cetakan I, Tahun 1422
H/2001M, Darul Kitabil ‘Arabi.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XI/1428H/2007.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Jami’ul-Bayan (20/211)
[2]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 37, Tafsirul Qur`anil ‘Azhim (8/513),
Zadul Masir (4/501).
[3]. HR Muslim, Kitabut-Tafsir no. 3024.
[4]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 41.
[5]. Al Jami li Ahkamil-Qur`an (20/211).
[6]. Tafsir Suratin-Nashr, hlm. 42.
[7]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
[8]. Aisarut-Tafasir (2/1500).
[9]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
[10]. Jami’ul Bayan ‘an Ta`wili Ayil-Qur`an (15/426), Zadul-Masir (4/
501), al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211), Aisarut-Tafasir (2/1500).
[11]. HR al Bukhari di dalam al Maghazi, 4302, dan lainnya.
[12]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/212)
[13]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (8/513)
[14]. Taisirul-Karimir-Rahman, hlm. 1023.
[15]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/211).
[16]. HR al Bukhari, Kitabut-Tafsir (4967) dan Muslim.
[17]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215)
[18]. Tafsir Quranil Azhim 8/511-512 dengan dirigkas
[19]. Al-Jami Li Ahkamil Qur'an (20/215)
[20]. Zadul-Masir (4/501).
[21]. Aisarut-Tafasir, hlm. (2/1500).
[22]. HR al Bukhari no. 4430, 4970.
[23]. HR Shahih Muslim, Kitabush-Shalah Bab Ma Yu Qaalu Fir Ruku was
Sujud no.484
[24]. ibid
[25]. Tafsir an-Nasa-i (2/566-567 no. 732). Syaikh Ahmad Syakir menilai
sanadnya shahih. Dikutip dari Tafsir ash-Shahih, karya Dr. Hikmat bin
Basyir, Cetakan I, Tahun 1420 H – 1999 M, Darul Ma-atsir Madinah, 4/677.
[26]. Tafsirul-Qur`anil-‘Azhim (7/328) pada tafsir surat al Fath ayat
1-2.
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.
supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu
dan yang akan datang"
[27]. HR al Bukhari dalam Kitabud Da’awat (al-Fath 14/438) Makna al
Muqaddim dan al Muakhkhir berasal dari pengertian yang ditulis Ibnul
Atsir di dalam an-Nihayah. Makna ini juga disepakati oleh Syaikh al
Albani. Dikutip dari Syarhu Shahihil-Adabil-Mufrad, karya Hushain bin
‘Audah al ‘Awayisyah, Cetakan I, Tahun 1423 H/2003 M, Maktabah
Islamiyah, 2/333.
[28]. Zadul Masir (4/350).
[29]. Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an (20/215).
[30]. Ikmalul-Mu’lim (8/214).
[31]. Fathul-Bari ( / ).
[32]. Taisirul Lathifir-Rahman fi Khulashati Tafsiril-Qur`an, hlm.
186-187 secara ringkas.
Sumber : http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar