Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
4. BEBERAPA PESAN UNTUK SUAMI.
Setelah kami mengetengahkan sejumlah pesan untuk wanita, dan kami telah
menyebutkan beberapa gambaran dari para wanita yang layak untuk
diteladani, kemudian kami menyebutkan beberapa bentuk kesetiaan para
wanita bersama para suami mereka, maka -supaya seimbang- kami akan
berpesan kepada suami dengan sejumlah pesan penting untuk kehidupan
mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum/30 : 21).
Allah Subhanahu wa Ta’ala menilai isteri sebagai salah satu tanda
kekuasaan-Nya. Yakni sebagaimana engkau menghormati ayat yang dibaca
(al-Qur-an) seperti yang diperintahkan, engkau juga harus menghormati
ayat (tanda) yang terlihat atau yang kasat mata sebagaimana yang
diperintahkan. Karena hal itu akan membawa kepada pengesaan Pencipta,
dalam hal mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
Wahai suami yang tercinta dan saudara yang budiman! Jika engkau
memperhatikan Kitabullah, maka engkau akan mendapati bahwasanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala menamai isteri dengan nama-nama yang mencengangkan
layak untuk direnungkan.
Dia menamainya dalam Kitab-Nya dengan al-harts (ladang) melalui
firman-Nya:
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam… ”
[Al-Baqarah/2: 223].
Al-harts adalah tanaman yang ditanam oleh petani dengan cara:
pertama-tama, memilih dengan baik tanah yang bagus untuk bisa
menumbuhkan tanaman. Kemudian memilih dengan baik benih yang terbebas
dari penyakit, kemudian memilih dengan baik penanamannya dan mengairinya
secara berkala. Kemudian setelah itu menunggu buahnya, yaitu hasilnya.
Buah yang dinanti dari isteri adalah anak-anak, belahan hati, amal
shalihmu sesudah kematianmu jika engkau mendidiknya dengan
sebaik-baiknya.
Allah menamakan isteri dengan pakaian melalui firman-Nya:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi
mereka...” [Al-Baqarah/2: 187].
Seperti diketahui bahwa di antara kegunaan pakaian adalah untuk
memperindah penampilan dan menutup aurat. Engkau berhias dengannya dan
dia berhias denganmu, engkau menutupi aurat (rahasia)nya dan dia
menutupi auratmu.
Setelah itu sudaraku yang budiman, dan karena keutamaan isteri ini, aku
ingin memberikan kepadamu sebagian nasihat. Mudah-mudahan nasihat ini
bermanfaat bagimu jika engkau mengamalkannya.
Wasiat (Pesan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Para Isteri.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada para suami terhadap
isteri-isteri mereka dalam banyak kesempatan, dan kita akan menyebutkan
sebagiannya:
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ،
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ،
وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ،
فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari ِِAkhir, janganlah dia
mengganggu tetangganya, dan perlakukanlah wanita dengan baik. Sebab,
mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya
bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika
engkau bermaksud meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika
engkau membiarkannya, maka ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu,
perlakukanlah wanita dengan baik.”[1]
Wasiat ‘Umar bin al-Khaththab Kepada Seorang Badui.
Diriwayatkan bahwa seorang Badui datang untuk mengadu kepadanya mengenai
buruknya akhlak isterinya. Ketika sampai di rumah ‘Umar dan mengetuk
pintunya, dia mendengar isteri ‘Umar meninggikan suaranya di hadapannya,
maka dia berpaling kembali sambil berkata dalam hatinya, “Celaka aku,
jika demikian keadaan Amirul Mukminin, maka bagaimana halnya denganku?”
‘Umar keluar lalu melihat laki-laki Badui ini pergi, maka dia bertanya,
“Ada apa denganmu?” Ia mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, hajatku telah
selesai.” ‘Umar berkata kepadanya, “Kemarilah dan ceritakan kepadaku
apa yang engkau inginkan.” Ia mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, aku
datang untuk mengadukan kepadamu tentang buruknya akhlak isteriku.
Tetapi aku melihat isterimu sama seperti isteriku, bahkan lebih, maka
aku mengatakan, ‘Jika demikian keadaan Amirul Mukminin, maka bagaimana
halnya denganku?’” ‘Umar berkata kepadanya, “Aku bersabar terhadapnya
karena dia mempunyai hak-hak terhadapku. Dia merawat anak-anakku,
memasakkan makananku, mencucikan pakaianku, membersihkan rumahku. Aku
bersabar terhadapnya karena dia mempunyai hak-hak terhadapku.”
Wasiat Paman Kepada Keponakannya.
‘Utsman bin ‘Anbasah bin Abi Sufyan meminang kepada pamannya, ‘Utbah,
untuk mempersunting puterinya. Maka pamannya mendudukkannya di
sampingnya dan mengusap kepalanya, kemudian mengatakan, “Kerabat
terdekat meminang kekasih yang tercinta. Aku tidak dapat menolaknya, dan
aku tidak mempunyai alasan untuk tidak menerimanya. Aku menikahkan
kalian berdua, dan engkau lebih mulia dibandingkan aku terhadapnya,
padahal ia lebih melekat di hatiku daripada dirimu. Oleh karena itu
mulia-kanlah, maka sebutanmu manis pada lisanku. Dan janganlah
menghinakannya, maka harga dirimu menjadi hina di mataku. Aku telah
mendekatkanmu bersama kerabatmu, maka jangan jauhkan hatiku dari
hatimu.”
Kepada Setiap Suami.
Jangan terlalu lama meninggalkan isterimu. Ketahuilah, wahai saudaraku,
bahwa bersanding dengan pengantin wanitamu dan berbincang-bincang
dengannya bukanlah waktu yang sia-sia. Terutama jika perbincangan
tersebut berjalan pada jalan yang dituju dan engkau berusaha di dalamnya
untuk tujuan tertentu. Dengan demikian, engkau dapat memahami isterimu
dan engkau memberikan pengertian kepadanya untuk bisa memahamimu.
Pemahaman ini adalah langkah pertama untuk pergaulan yang baik. Betapa
banyak kita melihat dalam kenyataan manusia, suami isteri telah berumah
tangga selama puluhan tahun, tetapi masing-masing pihak tidak memahami
pasangannya. Ini (akan) menjadi salah satu sebab permusuhan. Saudaraku,
dengan duduk bersama isterimu dan berbincang-bincang dengannya, berarti
engkau telah meluaskan ruang untukmu guna memahamkannya terhadap banyak
pendapatmu yang mungkin tampak asing baginya pada permulaannya.
Pembicaraan pertama tidak meninggalkan dampak yang diharapkan dan tidak
merasakan hasilnya. Tetapi bila dilakukan secara berulang-ulang, memilih
waktu yang cocok dan metode yang tepat untuk mengemukakan ide serta
membuat contoh yang banyak, maka pasti akan meninggalkan pengaruh yang
besar dalam diri manusia.[2]
Pasang di hadapan matamu apa yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir
Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Memanah dan menungganglah! Kalian mahir memanah lebih
aku sukai daripada menunggang kuda. Segala sesuatu yang dimainkan
seseorang adalah bathil, kecuali seseorang memanah dengan busurnya,
melatih kudanya, dan bersenda gurau dengan isterinya. Sebab, semua itu
merupakan kebenaran. Barangsiapa yang melupakan memanah setelah
mempelajarinya, maka dia telah mengingkari ilmu yang diajarkan
kepadanya.”[3]
Dari 'Atha' bin Abi Rabah, ia menuturkan: “Aku melihat Jabir bin
‘Abdillah dan Jabir bin ‘Umair -keduanya dari Anshar- sedang berlatih
memanah. Ketika salah satu dari keduanya kelelahan, maka dia duduk, dan
yang lainnya mengatakan, ‘Apakah engkau malas? Aku mendengar Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Segala sesuatu selain berdzikir
kepada Allah adalah senda gurau dan sia-sia (atau kelalaian) kecuali
empat perkara: seseorang berjalan di antara dua tujuan, melatih kudanya,
bermain-main dengan isterinya, dan belajar berenang.’”[4]
Benar, keluargamu mempunyai hak atasmu. Jadi, keluarga mempunyai hak,
Allah mempunyai hak, dan jiwa mempunyai hak. Setiap muslim dituntut agar
memberikan setiap yang berhak akan haknya. Menyeimbangkan di antara
hak-hak ini adalah perkara yang diperintahkan, dan tidak ada yang mampu
melakukannya kecuali orang-orang yang memahami. Menyia-nyiakan mengenai
hal itu berarti menyia-nyiakan kehidupan secara keseluruhan.[5]
Bukan Termasuk Kejantanan (Rujulah).
Di antara hal yang perlu diperingatkan adalah perbuatan zhalim yang
banyak dilakukan orang-orang yang tidak mempunyai sifat kemanusiaan dari
kalangan orang yang hatinya keras, tabi’atnya keras, dan buruk
pemahamanya, yaitu menzhalimi wanita dan memukul mereka seperti memukul
unta liar. Tindakan ini dilakukan karena sebab yang remeh. Adakalanya
mereka berselubung di balik izin Qur-ani untuk memukul. Sebagian mereka
menyangka bahwa kejantanan itu identik dengan kezhaliman, pemaksaan
serta kecongkakan. Sedangkan kepemimpinan adalah belenggu di leher
wanita untuk menundukkannya. Isteri tidaklah seperti sapi atau barang
perniagaan, jika telah membelinya maka pemiliknya bebas melakukan apa
pun terhadapnya sesukanya, sebagaimana yang dikira oleh orang-orang yang
zhalim tersebut. Wanita dalam hal ini mempunyai hak yang sempurna untuk
mengadukannya kepada walinya. Memperlakukan isteri dengan baik bukanlah
perkara pilihan yang dibiarkan untuk suami; dia dapat melakukannya atau
tidak melakukannya, tapi ini merupakan tugas yang wajib.
Apakah orang-orang yang hatinya keras tidak memperhatikan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi.” [Fajr: 14].
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنِّيْ أُحَرِّجُ عَلَيْكُمْ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ: اَلْيَتِيْمُ
وَالْمَرْأَةُ.
“Sesungguhnya aku mengkhawatirkan atas kalian akan hak dua pihak yang
lemah; anak yatim dan wanita.”[6]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلنِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ.
“Kaum wanita adalah saudara kaum lelaki.”[7]
Pesan Kepada Suami Dan Peringatan Untuknya Supaya Tidak Durhaka Kepada
Kedua Orang Tua Setelah Menikah.
Dr. Muhammad ash-Shabbagh hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya apa yang
diberikan oleh kedua orang tuamu berupa pemuliaan, bantuan, dan kebaikan
kepadamu, wajib engkau balas setimpal dengan pengakuan dan memberinya
kecukupan. Sesung-guhnya mereka berdua telah memelihara dan melayanimu
saat engkau lemah tidak dapat mengurus dirimu sendiri, memberi nafkah
kepadamu, mengalah demi dirimu, tidak tidur karena mengurusmu, dan rela
keletihan agar engkau merasa nyaman. Tidakkah patut bagimu, jika engkau
memang orang yang baik dan mempunyai kesetiaan, untuk membalas hal itu
dengan pengakuan dan kebaikan? (Bukankah balasan kebaikan melainkan
kebaikan juga)?
Ibu harus lebih didahulukan dalam berbakti karena kelemahannya. Karena
itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar berbakti
kepada ibu beberapa kali sebelum kepada bapak. Di antara hal yang dapat
mendorongmu untuk merealisasikan baktimu tersebut dalam kehidupanmu
ialah engkau meletakkan dirimu dalam posisi ayah dan ibumu. Apakah
engkau senang nantinya ketika engkau sudah tua, tulang melemah dan
kepalamu beruban, engkau mendapatkan dari anakmu perlakuan yang buruk,
disia-siakan yang menjengkelkan, dan di-hinakan yang melukai perasaan?
Ketahuilah wahai saudaraku yang mulia, bahwa perangai kedua orang tua
dan perangaimu pun berubah setelah pernikahan. Keduanya secara umum
menjadi sangat peka. Ibu jauh lebih peka daripada ayah. Oleh kerena itu,
berhati-hatilah. Berusahalah semampumu agar hati ibu tidak berubah
terhadapmu.
Ada beberapa hal yang dapat membantumu merealisasikan apa yang engkau
inginkan berupa memperhatikan kedua orang tua sekaligus isteri:
a. Engkau berlindung kepada Allah dan memperbaiki komunikasimu
dengan-Nya dalam bentuk ibadah, do’a, dan komitmen dengan apa yang
disyari’atkan-Nya.
b. Engkau bertempat tinggal secara mandiri, terpisah dari keluargamu
(orang tuamu) dan keluarga isterimu, serta tidak melibatkan seorang pun
dari keluarga kalian berdua ke dalam problem kalian yang khusus, dan
kalian berdua berkeinginan untuk memecahkan problem di antara kalian
dengan jiwa kasih sayang.
c. Engkau menjelaskan kepada kedua orang tuamu disertai penghormatan
yang mendalam tentang suasana baru yang engkau hadapi, dan juga
menjelaskan kepada mereka tentang realitas sebenarnya yang jauh dari
interpretasi, yang kadang-kala syaitan memasukkan waswas dengannya
kepada manusia untuk menimpakan ketidakharmonisan di antara keluarga
dengan orang-orang yang dicintai.
d. Engkau semakin berbakti kepada keduanya, baik secara materi maupun
moral, seperti memberi hadiah, berkunjung, senantiasa berkomunikasi,
memuliakan, dan membuat ibu merasa bahwa dia tetap sebagai ibumu yang
memiliki hak yang besar.
e. Memberi pemahaman terhadap isteri mengenai perilaku yang mewujudkan
keridhaan kedua orang tua.[9]
Wasiat Untuk Suami Yang Isterinya Tidak Menunaikan Shalat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang orang yang mempunyai
isteri yang tidak menunaikan shalat, apakah dia harus memerintahkan
shalat kepadanya? Jika tetap tidak mengerjakan, apakah dia harus
menceraikannya ataukah tidak?
Jawaban: Ya, dia harus memerintahkan shalat kepadanya dan dia wajib
memerintahkannya. Bahkan dia wajib memerintahkan demikian kepada setiap
orang yang dia mampu memerintahkannya, jika tidak ada orang selainnya
yang melakukan demikian.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya… ” [Thaahaa: 132].
Dia berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu… ” [Tahriim/66:
6).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلِّمُوْهُمْ وَأَدِّبُوْهُمْ.
“Ajarkan kepada mereka dan hukumlah mereka.”
Bersamaan dengan perintah tersebut, ada keharusan untuk menganjurkan
agar melakukan hal itu dengan kesadarannya, sebagaimana menganjurkannya
atas apa yang dibutuhkannya. Jika dia tetap meninggalkan shalat, maka
dia harus menceraikannya. Dan itu wajib menurut pendapat yang benar.
Orang yang meninggal-kan shalat berhak mendapatkan hukuman sampai dia
melaksanakan shalat, menurut kesepakatan kaum muslimin. Bahkan jika
seseorang tidak shalat, maka dia harus dibunuh. Dia dibunuh karena kafir
lagi murtad. Berdasarkan dua pendapat yang masyhur. Wallaahu a’lam.[10]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu
Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap
Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 3331) kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’ (dan no. 5185,
5186) kitab an-Nikaah, bab al-Washaati bin Nisaa’.-ed.) Muslim (no.
47), kitab al-Iimaan.
[2]. ‘Audatul Hijaab (II/383).
[3]. HR. Muslim (no. 1919) kitab al-‘Imaarah, an-Nasa-i (no. 3146) kitab
al-Jihaad, Ahmad (no. 16849) dan lafazh ini baginya.
[4]. As-Silsilah ash-Shahiihah (no. 315).
[5]. ‘Audatul Hijaab (II/385).
[6]. HR. Ibnu Majah (no. 3678) kitab al-Adab, Ahmad (no. 9374), Ibnu
Hibban (no. 1266), al-Hakim (I/63). Ia menshahihkannya dan disetujui
oleh adz-Dzahabi, serta dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam
as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 1015).
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 163) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 25663),
dan di-shahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (II/281).
Dan lihat ‘Audatul Hijaab (II/467).
[8]. ‘Audatul Hijaab (II/509) dan dinisbatkan kepada Nazharaat fil
Usratil Muslimah (hal. 102-103).
[9]. ‘Audatul Hijaab (II/512) dan dinisbatkan kepada buku Nazharaat fil
Usratil Muslimah (hal. 103-104).
[10]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/276-277).
Sumber : http://almanhaj.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar