Jumat, 28 Maret 2014

Anda Harus Tahu Inilah Ciri-ciri Ahlussunnah Wal Jamaah

Ciri-ciri dan Kriteria Ahlus sunnah Wal Jamaah

Salah Satu Tokoh Aswaja Sejati dari Makkah
Prof. DR Sayyid Muhammad Allawiy Al Maliki Al Hasani Tokok Aswaja Internasional

Ciri-ciri berikut ini adalah sekaligus menjadi barometer Kriteria Ahlus sunnah sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Ghazali dalam kitab beliau Ihya Ulumuddin dan kitab lainnya adalah:

1. Tentang Ketuhanan :

Ahlussunnah Wal Jamaah layak dialamatkan kepada suatu kelompok atau golomga jika mereka memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang esa yang berhak disembah dengan segala sifat kesempurnaan-Nya yang tiada sama dengan makhluk.
  2. Zat Allah dapat dilihat dengan mata kepala, dan orang-orang mukmin akan melihat-Nya dalam surga kelak.
  3. Segala sesuatu yang terjadi merupakan atas kehendak-Nya namun pada makhluk terdapat ikhtiyari (usaha makhluk).
  4. Menolak faham Tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk.
  5. Menolak faham Jabariyah (segala sesuatu atas kehendak Allah tanpa ikhtiayri dari makhluk)
  6. Menolak faham Qadariyah (segala sesuatu atas kehendak makhluk tanpa taqdir dari Allah)

2. Tentang Malaikat:

  1. Malaikat itu ada dan jumlahnya tidak terhingga. Setiap malaikat memiliki tugasnya masing-masing, mereka selalu taat kepada perintah Allah.
  2. Ummat Islam hanya diwajibkan mengetahui sepuluh nama malaikat yang utama yang mempunyai tugasnya masing-masing.
  3. Sehubungan dengan keimanan tentang adanya malaikat, ummat islam juga diwajibkan meyakini adanya jin, iblis dan syaithan.

3. Tentang Kerasulan:

  1. Meyakini bahwa semua Rasul adalah utusan-Nya yang diberikan mu`jizat kepada mereka sebagi tanda kebenaran mereka.
  2. Rasulullah SAW penutup segala Nabi dan Rasul yang diutus kepada bangsa arab dan bangsa lainnya, kepada manusia dan jin.
  3. Mencintai seluruh Sahabat Rasulullah Saw.
  4. Meyakini bahwa shahabat yang paling mulia adalah Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian Sayidina Umar kemudian Saiydina Utsman kemudian Saidina Ali Radhiyallahu ‘anhum.
  5. Menghindari membicarakan masalah permusuhan sesama sahabat kecuali untuk menerangkan kebenaran dan bagaimana kaum muslimin menyikapinya.
  6. Meyakini Ibunda dan Ayahanda Rasulullah masuk surga berdasarkan firman Allah QS. Al-Isra’ ayat 15 :

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra` : 15)
Kedua orang tua Nabi wafat pada zaman fatharah (kekosongan dari seorang Nabi/Rasul). Berarti keduanya dinyatakan selamat.
Imam Fakhrurrozi menyatakan bahwa semua orang tua para Nabi muslim. Dengan dasar Al-Qur’an surat As-Syu’ara’ : 218-219 :

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud “.
Sebagian Ulama’ menafsiri ayat di atas bahwa cahaya Nabi berpindah dari orang yang ahli sujud (muslim) ke orang yang ahli sujud lainnya. Adapun Azar yang secara jelas mati kafir, sebagian ulama’ menyatakan bukanlah bapak Nabi Ibrahim yang sebenarnya tetapi dia adalah bapak asuhnya dan juga pamannya.
Jelas sekali Rasulullah menyatakan bahwa kakek dan nenek moyang beliau adalah orang-orang yang suci bukan orang-orang musyrik karena mereka dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam At Taubah ayat 28

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”

4. Tentang kitab:

  1. Al quran, Taurat, Injil, Zabur adalah kitab-kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya sebagai pedoman bagi ummat.
  2. Al Quran adalah kalam Allah dan bukan makhluk dan bukan sifat bagi makhluk.
  3. Tentang ayat mutasyabihat, dalam Ahlussunnah ada dua pandangan para ulama:
  • Ulama salaf (ulama yang hidup pada masa sebelum 500 tahun hijryah) lebih memilih tafwidh (menyerahkan kepada Allah) setelah Takwil Ijmali (umum/global) atau dikenal juga dengan istilah tafwidh ma’a tanzih yaitu memalingkan lafahd dari arti dhahirnya setelah itu menyerahkan maksud dari kalimat tasybih itu kepada Allah.
  • Ulama khalaf (Ulama pada masa setelah 500 Hijriyah) lebih memilih ta`wil yaitu menghamal arti kalimat dengan sebalik arti dhahirnya dengan menyatakan dan menentukan arti yang dimaksudkan dari kalimat tersebut.
Dalam menentukan langkahnya, Ulama Salaf dan Ulama Khalaf sama-sama berpegang pada surat: Ali Imran ayat: 7

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

Artinya : “Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-quran) kepada kamu, di antara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat (jelas maksudnya) itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (tidak difahami maksudnya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat dari padanya untuk menimbulkan fitnah (karena mereka tidak menyadari telah terjerumus dalam ayat mutasyabihat) dan untuk mencari-cari penafsirannya,”
[a]. >> dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS: Ali Imran. 7) [b]. >> dan tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi tuhan kami” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS: Ali Imran. 7)
Ulama Khalaf berpendapat bahwa kalimat الرَّاسِخُونَ di’athafkan kepada lafadh اللَّهُ dan jumlah يَقُولُونَ آَمَنَّا merupakan jumlah musta`nafah (permulaan baru) untuk bayan (menjelaskan) sebab iltimas takwil. Terjemahan [a] merupakan terjemahan berdasarkan pendapat Ulama Khalaf.
Ulama Salaf berpendapat bahwa kalimat الرَّاسِخُونَ merupakan isti`naf. Terjemahan [b] merupakan terjemahan berdasarkan pendapat Ulama Salaf.

5. Tentang kiamat:

  1. Kiamat pasti terjadi, tiada keraguan sedikit pun.
  2. Meyakini adanya azab kubur.
  3. Kebangkitan adalah hal yang pasti.
  4. Surga adalah satu tempat yang disediakan untuk hamba yang dicintai-Nya.
  5. Neraka disediakan untuk orang-orang yang ingkar kepada-Nya.
  6. Meyakini adanya hisab (hari perhitungan amalan).
  7. Meyakini adanya tempat pemberhentian hamba setelah bangkit dari kubur.
  8. Meyakini adanya Syafaat Rasulullah, ulama, syuhada dan orang-orang mukmin lainnya menurut kadar masing-masing.

6. Kewajiban ta`at kepada-Nya terhadap hamba-Nya adalah diketahui melalui lisan Rasul-Nya bukan melalui akal.

7. Tidak mengatakan seseorang ahli tauhid dan beriman telah pasti masuk surga atau neraka kecuali orang-orang yang telah mendapat pengakuan dari Rasulullah bahwa ia masuk surga.

8. Tidak mengada-ngadakan sesuatu dalam agama kecuali atas izin Allah.

9. Tidak menisbahkan kepada Allah sesuatu yang tidak diketahui.

10. Meyakini bahwa shadaqah dan doa kepada orang mati bermanfaat dan Allah memberi manfaat kepada mayat dengan shadaqah dan doa tersebut.

11. Meyakini adanya karamah orang-orang shaleh.

12. Tidak mengkafirkan seorang pun dari ahli kiblat (shalat) dengan sebab dosa yang mereka lakukan seperti zina, mencuri, minum khamar dll.

13. Masalah sifat dua puluh. Para ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah sebenarnya tidak membataskan sifat-sifat kesempurnaan Allah hanya kepada 20 sifat saja.

Bahkan setiap sifat kesempurnaan yang layak bagi keagungan Allah, sudah pasti Allah wajib memiliki sekian sifat tersebut, sehingga sifat-sifat kamalat (kesempurnaan dan keagungan) Allah itu sebenarnya tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan saja.

sumber:
Kriteria Ahlus sunnah Wal Jamaah.
Oleh: Abu mudi

Fakta Perbedaan Antara Akidah Wahabi dan Akidah Islam ( bag. II )


Qur'an Surat ke _5_11


Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.
Qur’an Surat ke _5_11

=====================================================================

Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.






Qur’an Surat ke _5_64

Perbedaan Aqidah Wahabi dan Islam ( bag: II )


Berikut adalah beberapa kutipan DARI PARA Ulama, MEREKA bersaksi bahwa:

1-IMAM IBNU HAJAR Al Asqalaaniyy mengatakan mereka bukan muslim:


ﻗﺎﻝ ﺣﺬﺍﻕ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻴﻦ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﺷﺒﻬﻪ ﺑﺨﻠﻘﻪ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻴﺪ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻓﻤﻌﺒﻮﺩﻫﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻋﺒﺪﻭﻩ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻥ ﺳﻤﻮﻩ ﺑﻪ (ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ,ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻌﺴﻘﻼﻧﻲ,ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻤﻌﺮﻓﺔ- ﺑﻴﺮﻭﺕ,1379, 3/359 )

: Para ulama AHLI kalaam brilian berkata: “BARANG-SIAPA menyamakan Allah dengan ciptaan-Nya, atau MENYANDARKAN TANGAN KEPADA-Nya (dalam arti bagian atau anggota TUBUH) atau MENYANDARKAN seorang anak, MAKA yang ia SEMBAH  BUKANLAH Allah, WALAU PUN ia menyebutnya Allah .

2-An-Nawawiyy dan Al-Qaađi IYAđ mengatakan mereka bukan muslim:


  ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ(ﻓﻠﻴﻜﻦ ﺃﻭﻝ ﻣﺎ ﺗﺪﻋﻮﻫﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺮﻓﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺄﺧﺒﺮﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺁﺧﺮﻩ)ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻫﺬﺍ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻧﻬﻢ ﻟﻴﺴﻮﺍ ﺑﻌﺎﺭﻓﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺣﺬﺍﻕ ﺍﻟﻤﺘﻜﻠﻤﻴﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺃﻧﻬﻢ ﻏﻴﺮ ﻋﺎﺭﻓﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﺒﺪﻭﻧﻪ ﻭﻳﻈﻬﺮﻭﻥ ﻣﻌﺮﻓﺘﻪ ﻟﺪﻻﻟﺔ ﺍﻟﺴﻤﻊ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻻ ﻳﻤﻨﻊ ﺃﻥ ﻳﻌﺮﻑ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﻛﺬﺏ ﺭﺳﻮﻻ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻋﺮﻑ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﺷﺒﻬﻪ ﻭﺟﺴﻤﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﺃﻭ ﺍﺟﺎﺯ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺒﺪﺍﺀ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻮﻟﺪ ﻣﻨﻬﻢ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﺼﺎﺣﺒﺔ ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ ﻭﺃﺟﺎﺯ ﺍﻟﺤﻠﻮﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻻﻧﺘﻘﺎﻝ ﻭﺍﻻﻣﺘﺰﺍﺝ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺃﻭ ﻭﺻﻔﻪ ﻣﻤﺎ ﻻ ﻳﻠﻴﻖ ﺑﻪ ﺃﻭ ﺃﺿﺎﻑ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﺸﺮﻳﻚ ﻭﺍﻟﻤﻌﺎﻧﺪ ﻓﻲ ﺧﻠﻘﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﻮﺱ ﻭﺍﻟﺜﻨﻮﻳﺔ ﻓﻤﻌﺒﻮﺩﻫﻢ ﺍﻟﺬﻯ ﻋﺒﺪﻭﻩ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺍﻥ ﺳﻤﻮﻩ ﺑﻪ ﺍﺫ ﻟﻴﺲ ﻣﻮﺻﻮﻓﺎ ﺑﺼﻔﺎﺕ ﺍﻻﻟﻪ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺔ ﻟﻪ ﻓﺎﺫﻥ ﻣﺎ ﻋﺮﻓﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻓﺘﺤﻘﻖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻨﻜﺘﺔ ﻭﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻗﺪ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ﻟﻤﺘﻘﺪﻣﻰ ﺃﺷﻴﺎﺧﻨﺎ ﻭﺑﻬﺎ ﻗﻄﻊ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﺍﺑﻮﻋﻤﺮﺍﻥ ﺍﻟﻔﺎﺭﺳﻰ ﺑﻴﻦ ﻋﺎﻣﺔ ﺍﻫﻞ ﺍﻟﻘﻴﺮﻭﺍﻥ ﻋﻨﺪ ﺗﻨﺎﺯﻋﻬﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻫﺬﺍ ﺁﺧﺮ ﻛﻼﻡ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ. (ﺍﻟﻤﻨﻬﺎﺝ ﺷﺮﺡ ﺻﺤﻴﺢ ﻣﺴﻠﻢ ﺑﻦ ﺍﻟﺤﺠﺎﺝ, ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ,ﺩﺍﺭ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﺘﺮﺍﺙ ﺍﻟﻌﺮﺑﻲ, 1392,1/199-200 )

Perkataan Nabi (ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ) “YANG PALING pertama MESTI ENGKAU LAKUKAN ADALAH MENGAJAK mereka untuk menyembah Allah, maka ketika mereka tahu Allah, MAKA beritahuKAN mereka ..DST dll”, Al-Qaadii Iaađ (ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ) mengatakan:  ” pernyataan Nabi (ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ) INI menunjukkan bahwa mereka (Kristen) tidak tahu Allah, ini adalah perkataan para ulama kalaam brilian mengenai orang Yahudi dan Nasrani bahwa mereka tidak tahu Allah (ﺗﻌﺎﻟﻰ ) WALAU PUN mereka menyembah- Nya (panggilan yang mereka menyembah dengan nama-Nya) dan MENampakkAN seolah-olah mereka mengenal-Nya, berdasarkan apa yang mereka ceritakan DAN MEREKA DENGAR DI antara mereka sendiri, meskipun bukan tidak mungkin MENURUT AKAL bahwa seseorang yang mendustakan RASUL DAPAT MENGETAHUI Allah. “  Al-Qaađii Iiaađ (ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ) mengatakan: BARANG SIAPA menyamakan Allah dengan ciptaan-Nya, SEPERTI diyakini orang Yahudi dan Kristen, atau percaya bahwa Dia BERUBAH dari waktu ke waktu, atau diklaim Dia memiliki anak, atau MEMILIKI seorang perempuan pendamping dan anak, atau mengatakan dia bisa ada dalam hal-hal yang diciptakan, atau BERPindah dari satu tempat ke tempat lain, atau BERcampur dengan ciptaan, SEPERTI KEYAKINAN di antara orang-orang Kristen, atau dikaitkan dengan-Nya apa yang tidak pantas, atau berhubungan dengan-Nya mitra atau lawan dalam menciptakan SEPERTI KEYAKINAN Majusi DAN PENYEMBAH BERHALA, MAKA apa yang mereka sembah BUKANLAH Allah, WALAU PUN mereka menyebutnya ALLAH. Hal ini karena tidak dikaitkan SIFAT yang SESUAI PADA-Nya, Oleh karena itu, mereka tidak tahu Allah (ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ),  maka sadarilah hal ini dengan baik, dan bergantung padanya, dan aku telah melihat titik ini dibuat oleh syekh pendahulu kita.”


3-Ar-Raaziyy mengatakan mereka bukan muslim:

  ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﺩﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ ﺇﻥ ﺍﻹﻟﻪ ﺟﺴﻢ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﻜﺮ ﻟﻺﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﺇﻟﻪ ﺍﻟﻌﺎﻟﻢ ﻣﻮﺟﻮﺩ ﻟﻴﺲ ﺑﺠﺴﻢ ﻭﻻ ﺣﺎﻝ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﻢ ﻓﺈﺫﺍ ﺃﻧﻜﺮ ﺍﻟﻤﺠﺴﻢ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻮﺟﻮﺩ ﻓﻘﺪ ﺃﻧﻜﺮ ﺫﺍﺕ ﺍﻹﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﺎﻟﺨﻼﻑ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺠﺴﻢ ﻭﺍﻟﻤﻮﺣﺪ ﻟﻴﺲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻔﺔ ﺑﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺬﺍﺕ ﻓﺼﺢ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﺴﻢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﺍﻟﺘﻲ ﺣﻜﻴﺘﻤﻮﻫﺎ ﻓﻬﻲ ﺍﺧﺘﻼﻓﺎﺕ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻔﺔ ﻓﻈﻬﺮ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﻭﺃﻣﺎ ﺇﻟﺰﺍﻡ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻟﺤﻠﻮﻟﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﺮﻭﻓﻴﺔ ﻓﻨﺤﻦ ﻧﻜﻔﺮﻫﻢ ﻗﻄﻌﺎ ﻓﺈﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﻔﺮ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺑﺴﺒﺐ ﺃﻧﻬﻢ ﺍﻋﺘﻘﺪﻭﺍ ﺣﻠﻮﻝ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻋﻴﺴﻰ ﻭﻫﺆﻻﺀ ﺍﻋﺘﻘﺪﻭﺍ ﺣﻠﻮﻝ ﻛﻠﻤﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺃﻟﺴﻨﺔ ﺟﻤﻴﻊ ﻣﻦ ﻗﺮﺃ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻭﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺟﺴﺎﻡ ﺍﻟﺘﻲ ﻛﺘﺐ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺈﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺤﻠﻮﻝ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺍﻟﺬﺍﺕ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪﺓ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﻓﻸﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺤﻠﻮﻝ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻷﺷﺨﺎﺹ ﻭﺍﻷﺟﺴﺎﻡ ﻣﻮﺟﺒﺎ ﻟﻠﻘﻮﻝ ﺑﺎﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻟﻰ(ﻣﻔﺎﺗﻴﺢ ﺍﻟﻐﻴﺐ-ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ,16/ 24)

“Bukti memberitahu kita bahwa ORANG yang mengatakan Tuhan adalah JISIM / tubuh adalah kafir KEPADA Tuhan (MAHA TINGGI ALLAH). Alasannya KARENA TUHAN SEMESTA ALAM bukanLAH tubuh, atau ditempatkan di tubuh. Jadi jika orang yang percaya bahwa Tuhan adalah tubuh, DAN menolak keberadaan non-fisik, maka dia telah kafir kepada Tuhan ITU sendiri. Artinya bahwa PERBEDAAN antara yang percaya bahwa Tuhan adalah JISIM / tubuh, dan monoteis (dalam arti Islam) BUKAN DALAM MASALAH SIFAT tetapi tentang DZAT-NYA (yaitu SESUATU identitas YANG dikaitkan dengan Ketuhanan.) DENGAN Ini, dikatakan, bahwa orang yang percaya bahwa Tuhan adalah tubuh, MAKA IA tidak percaya pada Allah ….  Ada pun ĥuluuliyyah (mereka yang percaya bahwa Allah berdiam dalam hal-hal yang diciptakan) seperti di langit atau dalam tubuh manusia ATAU DI CIPTAAN LAINNYA ) dan JUGA ĥuruufiyyah (mereka yang percaya bahwa SIFAT KALAM Allah terdiri dari huruf dan
suara), kita mengatakan DENGAN TEGAS bahwa mereka kafir. Hal ini karena Allah menyatakan kristen KAFIR KARENA percaya bahwa KALAM Allah itu ada PADA DIRI Yesus, sedangkan ĥuruufiyyah percaya bahwa  KALAM ALLAH berdiam di lidah semua orang yang membaca Al-Qur’an, dan dalam segala hal fisik yang ditulisKAN ALQURAN. Oleh karena itu, jika keyakinan dalam KALAM ALLAH ADA dalam satu tubuh (Yesus) merupakan KEKAFIRAN, maka lebiH KAFIR LAGI ORANG YANG percaya bahwa KALAM ALLAH berdiam dalam segala bentuk dan tubuh. “

4-IMAM As-Subkiy menyebut mereka penyembah berhala:


As-Subkiyy DALAM Tabaqatu Sħafi’IyaH AL Kubraa MENJELASKAN tentang teks-teks Al kitab yang DOHIRnya MENUNJUKAN MAKNA JISIM / tubuh:

ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ:ﺇﻧﻤﺎ
ﺍﻟﻤﺼﻴﺒﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﻭﺍﻟﺪﺍﻫﻴﺔ ﺍﻟﺪﻫﻴﺎﺀ ﺍﻹﻣﺮﺍﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﻭﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ ﺃﻧﻪ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻭﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ﻓﺬﻟﻚ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﻤﺠﺴﻤﺔ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻟﻮﺛﻦ
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻓﻲ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﺯﻳﻎ ﻳﺤﻤﻠﻬﻢ ﺍﻟﺰﻳﻎ ﻋﻠﻰ ﺍﺗﺒﺎﻉ ﺍﻟﻤﺘﺸﺎﺑﻪ ﺍﺑﺘﻐﺎﺀ ﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻟﻌﺎﺋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﺘﺮﻯ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺑﻌﺪ ﺃﺧﺮﻯ ﻣﺎ ﺃﺟﺮﺃﻫﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻭﺃﻗﻞ ﻓﻬﻤﻬﻢ ﻟﻠﺤﻘﺎﺋﻖ
ﻃﺒﻘﺎﺕ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﺍﻟﻜﺒﺮﻯ ﺝ 5 ﺹ 192

: “SUNGGUH MUSIBAH BESAR DAN KEKELIRUAN YANG SANGAT KELIRU ADALAH MENJALANKAN DOHIRNYA (TEKS MUTASABEHAT) DAN MENG’ITIQADKAN BAHWA DOHIRNYA ITU YANG DI MAKSUD DAN MENYATAKAN HAL ITU TIDAK MUSTAHIL BAGI ALLAH, INI ADALAH YANG dikatakan mujassimah (anthropomorphists) penyembah berhala,mereka fokus pada ayat- ayat ambigu…DST”

5-Al-Qurţubiyy dan Ibn Al-arabiyy BERKATA:


ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﺘﻜﻔﻴﺮﻫﻢ,ﺇﺫ ﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻨﻬﻢ ﻭﺑﻴﻦ ﻋﺒﺎﺩ ﺍﻷﺻﻨﺎﻡ ﻭﺍﻟﺼﻮﺭ.

Demikian pula, Al-Qurtubīy dalam komentarnya DALAM TAFSIR Qur’an meriwayatkan KEPADA beliau, Syaikh Ibnu Al-’Arabīy mengenai orang-orang yang mengatakan ALlah BERUPA JISIM / FISIK: “KEPutusan PENDAPAT YANG SOHEH adalah mereka KAFIR,  karena tidak ada perbedaan  antara mereka dan orang-orang yang menyembah berhala dan gambar.”  (Tafsiir Al-Qurţubiyy, 4 / 14).

KESIMPULAN: Mereka yang menyamakan Allah DENGAN ciptaan ada 2 jenis:
1] Orang yang benar-benar percaya bahwa ta’ala Allahu adalah ADALAH bentuk atau gambaR FISIK, seperti yang di YAKINI oleh sekte MujassimaH, INI tidak di ragukan lagi, BAHWA MEREKA kafir.
2] Mereka yang berpegang pada makna literal dari Wajh, yaad, ain dll untuk Allah, dengan mengatakan seperti yang LAYAK untuk-Nya, tanpa meNYamakan DENGAN FISIK, seperti SEKTE YANG SEKARANG ADA YAITU SEKTE Wahabis, MAKA INI hanya Ahlul Bid’aH dan tidak KAFIR….

Kelompok YANG 1, Tuhan DALAM imajinasi mereka, seperti yang diperjelas oleh ulama besar Islam juga oleh Imam Hujjathul Islam Abu Hamid al-Ghazali. Ra, dalam KITABnya ‘Iljamul Awam’.  “Dalam bentuk atau gambar Manusia,”  tidak hanya ITU, PERKATAAN Al- Ghazaaliy JUGA dalam IljaamuL AWAM– adalah:

ﺃﻋﻨﻲ ﺑﺎﻟﺠﺴﻢ ﻋﺒﺎﺭﺓ ﻋﻦ ﻣﻘﺪﺍﺭ ﻟﻪ ﻃﻮﻝ ﻭﻋﺮﺽ ﻭﻋﻤﻖ

“YANG Saya maksud dengan tubuh ADALAH kuantitas yang memiliki panjang, lebar dan kedalaman”

Kemudian ia berkata:

ﻣﻦ ﻋﺒﺪ ﺟﺴﻤﺎ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﺑﺈﺟﻤﺎﻉ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻣﻨﻬﻢ ﻭﺍﻟﺨﻠﻒ

“BARANG SIAPA menyembah JISIM, MAKA DIA adalah KAFIR MENURUT konsensus ULAMA, baik generasi SALAF ATAU PUN KHOLAF.”  WALLAHU A’LAM.

sumber :http://ummatipress.com/

Fakta Perbedaan Antara Akidah Wahabi dan Akidah Islam ( bag. I )

Wahabi Mujassimuun: ALLAH ITU BERSEMAYAM DI ATAS ‘ARSY DAN BERADA DI ATAS LANGIT

“Perbedaan Akidah Wahabi dan Islam” (Bag: I)


Saya sering diminta untuk membuat daftar hal-hal yang berbeda antara akidah versi Wahabi  dan Islam. Perbedaan utama adalah bahwa ketika Wahabi mengatakan: ”Allah tidak menyerupai ciptaan-Nya”, maksud mereka adalah: bahwa ALLAH  BERBEDA DENGAN CIPTAAN-NYA DALAM CARA SEPERTI CIPTAAN berbeda satu sama lain, INI MIRIP seperti dalam kasus sidik jari, Semua orang memiliki sidik jari yang berbeda.
Jadi ketika mereka mengatakan: Allah mempunyai tangan, tetapi “tidak seperti TANGAN kita,” artiNYA memiliki karakteristik fisik yang berbeda, seperti warna, jumlah jari, atau BENTUK, atau sesuatu seperti itu. KENYATAAN ini TERJADI, karena mereka percaya bahwa Allah adalah sesuatu yang dapat menunjuk arah dan memiliki batas, yaitu bentuk dan ukuran.
Untuk mempermudah, mari kita menyebutnya JISIM / tubuh, karena tubuh adalah segala sesuatu dengan ukuran dan bentuk, WALAU TERKADANG banyak Wahabi tidak suka DENGAN kata ini.  Semua kreasi seperti yang KITA amati oleh mata kita, memiliki bentuk, dan berbeda hanya dalam bentuk  dan ukuran. Karena Wahabi percaya bahwa tuhan mereka adalah JISIM / tubuh, KARENA keyakinan mereka adalah: ALLAH hanya berbeda DENGAN CIPTAAN-NYA dalam karakteristik tubuh, YAKNI BERBEDA DALAM bentuk dan ukuran SAJA. Ini berarti bahwa ALLAH menjadi bagian identik dengan ciptaan, DAN bagian yang berbeda cara.
Di sisi lain, kaum Sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah) mengatakan bahwa realitas keberadaan Allah bena- benar tidak menyerupai ciptaanNya. Mereka tidak percaya bahwa Allah berbeda dengan ciptaan-Nya hanya dalam hal-hal SEPERTI ciptaan berbeda satu sama lain. DENGAN alasan ini, kaum Sunni (Aswaja)  mengatakan bahwa realitas keberadaan Allah bukanlah tubuh. Artinya Dia tanpa ukuran atau bentuk.
Cara lain untuk mengekspresikan kepercayaan Sunni DALAM HAL non kemiripan Allah-DENGAN ciptaan adalah bahwa kemiripan apa pun DENGAN MAHLUK PASTI butuh spesifikasi. Padahal semestinya Realitas keberadaan Allah tidak memerlukan spesifikasi, karena BILA membutuhkan spesifikasi berarti menjadi tergantung pada sesuatu yang lain yang MENENTUKAN SPESIFIKASINYA. Dengan kata lain, berarti bergantung pada pencipta untuk memberikan spesifikasi dan keberadaan sesuai dengan spesifikasi. keberadaan Tubuh, yang mencakup ukuran dan bentuk, sangat membutuhkan spesifikasi ukuran dan bentuknya, karena tidak ada bentuk atau ukuran YANG memiliki prioritas lebih tinggi untuk eksistensi intrinsik. Tidak ada ukuran lebih mungkin ada dari yang lain, tanpa pengaruh dari selain itu. Demikian juga, bentuk tidak lebih mungkin ada dari yang lain tanpa pengaruh dari selain itu.
DAN Apa pun yang memiliki keberadaan SEBAGAIMANA tubuh, MAKA ITU kreasi (DI CIPTA), MAKA tidak BISA menjadi Pencipta. Itulah sebabnya, PARA ULAMA SALAF meskipun mereka tidak menjelaskan secara detail TENTANG SIFAT MUTASABIHAT, MEREKA selalu menyatakan bahwa SIFAT Allah tanpa bagaimana, yaitu tanpa spesifikasi, tanpa bentuk atau perubahan. PENDAPAT MEREKA SEPERTI ITU KARENA kedekatan dengan MASA kenabian, mereka memiliki pikiran besar dan pemahaman yang mendalam tentang agama. Mereka memahami bahwa Allah tidak terbatas atau memiliki batas, atau kurang sempurna dalam arti apapun, dan bahwa Dia tidak dalam arah atau berubah. Mereka menyatakan semua ini dengan kalimat sederhana: “tanpa bagaimana.”  Mereka mengambil kalimat ini
dari Alquran:  “…  DIA benar-benar tidak menyerupai apapun”(QS AS SYUR0:11).  Artinya, realitas keberadaan-Nya tidak menyerupai ciptaan.
Sebagai kesimpulan, keyakinan Wahabi adalah bahwa Allah berbeda dari ciptaan / MAHLUK SEPERTI cara CIPTAAN berbeda satu sama lain. Mereka percaya bahwa keberadaan-Nya adalah tubuh, seperti sang makhluk. IniLAH perbedaan YANG paling mendasar antara Sunni (Aswaja) dan Wahabi.
Perbedaan inti lainnya, YAITU konsep unik mereka TENTANG syirik, YANG benar- benar merupakan konsekuensi dari HAL DI ATAS. Mari saya jelaskan …. Ketika manusia menyembah bentuk 3 dimensi, ENTAH BAGAIMANA mereka merasa perlu untuk membuat YANG DISEMBAHNYA berbeda dari benda lain. Alasannya adalah bahwa ITU ADALAH realitas penting dari keberadaan apa yang mereka sembah, BEGITU JUGA semua hal lain YANG BERSANGKUTAN DGN YANG MEREKA SEMBAH. TETAPI…, bentuk 3 dimensi TETAP SAJA hanya bentuk 3 dimensi sehubungan dengan jenis keberadaan, yaitu BERUPA JISIM atau tubuh.
Dengan demikian, perbedaan ini hanya bisa MEREKA DAPATKAN dalam hal:
1-Apa yang dilihat, yaitu penampilan dalam bentuk, ukuran atau warna, atau lokasi.
2-Beberapa karakteristik yang tak terlihat.
3-Bagaimana seseorang berperilaku terhadap objek ini.
Itulah SEBABNYA mengapa Anda akan menemukan Buddha atau anemist (orang-orang yang menyembah pohon-pohon dan benda lainnya yang ditemukan) menghiasi idola (TUHAN) nya DENGAN bentuk aneh, seperti beberapa kepala, dan jika dia kaya dia akan membeli HIASAN dari emas. Anda juga akan menemukan MEREKA memasukkan TUHAN nya ke dalam sebuah lokasi khusus di rumahnya. Ini BERKAITAN DENGAN penampilan YANG MEREKA SEMBAH. Ia akan mengklaim bahwa berhala memiliki kekuatan, atau pengetahuan, atau sejenisnya, untuk mencoba merasionalisasi ibadah KEPADANYA. Lalu ia akan MELAKUKAN ritual upacara khusus di hadapan fisiknya. Banyak perhatian yang diCURAHKAN DI lokasi idola, JUGA perilaku upacara yang berhubungan dengan lokasi ini, dan hiasan untuk membedakannya dari objek lainnya. Hal ini untuk berkontribusi dalam ilusi bahwa pada dasarnya TUHAN MEREKA berbeda dari benda lain, dan membuatnya tampak masuk akal bahwa itu adalah tuhan.
Para Wahabi adalah sama seperti penyembah berhala biasa, mereka menyembah apa yang pada dasarnya adalah sebuah hal yang 3 dimensi. Namun, objek ibadah mereka tidak ada, sehingga mereka hanya akan mengatakan tentang penampilannya, “tidak seperti benda lain dan tidak tahu bagaimana.” DAN cara KETUHANAN mereka SEPERTI INI DI biarkan terbuka, dan BISA DI KETAHUI OLEH UMAT Buddha, SeHinGGa kaum BUDHA BERKATA: “objek KAMI jauh lebih baik daripada Anda, KARENA ANDA” ketika ditanya “bagaimana?” ANDA berkata, “kami tidak tahu, tapi POKOKNYA ADA BERSEMAYAM DI ARASY. ”
Pada aspek penampilan lokasi, lokasi khusus TUHAN WAHABI adalah  “di atas dunia dalam arah.”  Di sini mereka telah melampaui semua penyembah berhala lainnya dengan memilih lokasi yang benar-benar khusus yang tidak dapat dijangkau oleh indera. Tapi mereka berada pada keSALAHAN konseptual KARENA KE ESAAN TIDAK MUTLAK UNTUK ALLAH, TOH BANYAK KESAMAANNYA di bumi, Lagi pula, setiap objek fisik tunggal adalah “satu” dalam hitungan, tetapi tidak dalam bentuk, SEHINGGA KONSEP MEREKA sangat berkabut, dan mereka memiliki cukup dilema. YANG bisa MEREKA lakukan adalah mengatakan bahwa tubuh yang mereka sebut Allah (tetapi sebenarnya BUKAN DIA) layak DISembah, sedangkan obyek lain YANG SAMA FISIK, JISIM, badan tidak LAYAK DI SEMBAH..! Tapi apa yang menjadi dasar mereka untuk klaim ini?
Mereka tidak bisa klaim ini, didasarkan pada kenyataan adanya objek ibadah mereka, karena tubuh, dan badan MEMILIKI sangat banyak mode yang sama DALAM eksistensi. Mereka tidak bisa mengklaim perbedaan berdasarkan karakteristik yang tak terlihat, karena jika kemahakuasaan, kemahatahuan dan keberadaan kekal bisa menjadi SIFAT dari DZAT YANG 3 dimensi ini,  maka tidak ada cara rasional UNTUK membuktikan bahwa SESUATU YANG seperti itu bisa memiliki SIFAT YANG TADI DI SEBUTKAN.  Sementara DZAT LAIN YANG SAMA SEPERTI ITU tidak..! Artinya mendasarkan pada klaim bahwa benda ini memiliki semua macam karakteristik seperti kekuasaan DLL, tidak akan memuaskan pencarian mereka untuk arti TAUHID YANG membuat mereka berbeda dari penyembah berhala lainnya.
DARI SEMUA PENJELASAN DI ATAS, semua penyembah berhala mengklaim BAHWA BERHALANYA memiliki segala macam kekuatan, sehingga hal ini tidak akan membuat WAHABI berbeda dengan cara yang esensial. Hal ini terutama bila dibandingkan dengan agama YANG MEMILIKI kepercayaan yang sama mengenai realitas keberadaan pencipta, yaitu JISIM, tubuh, seperti kristen, dan terutama orang-orang Yahudi. Dalam prakteknya, bagaimanapun, Wahabis telah mencapai keuntungan lebih DARI penyembah benda lainnya, karena Wahabis bisa memecahkan berhala fisik, dan tidak ada penyembah berhala MAMPU bersaing UNTUK membuktikan bahwa mereka salah, bahkan mereka sendiri tidak dapat membuktikan bahwa mereka benar.
Dalam HAL ini, Wahabi merasa lebih unggul dalam permainan membedakan Sembahan berhala NYA (seperti ketika Hindu klaim berhala-berhala mereka adalah lebih baik daripada Bhuddists dan sebaliknya). Namun, hal ini sangat lemah dengan sendirinya, karena didasarkan tidak adanya fisik TUHAN mereka, dan keberadaan TUHAN YANG fantastis tidak mungkin untuk DIbuktikan. Hal ini karena benda-benda fisik tidak dapat dibuktikan ada kecuali dengan observasi. Bukti bagi keberadaan pencipta yang digunakan Muslim tidak membantu mereka (WAHABI), karena KONSEP MUSLIM didasarkan pada gagasan bahwa apa PUN yang memiliki ukuran dan bentuk dan perubahan membutuhkan pencipta, berarti bahwa berhala mereka membutuhkan satu PENCIPTA juga.
Di sinilah konsep mereka tentang syirik datang untuk bermain, mereka PERLU sesuatu untuk membuat TUHAN mereka benar-benar berbeda dalam klaim MONOTEIS mereka secara unik. Mereka merasa perlu untuk membuat objek menyembah mereka berbeda dari obyek lain dengan cara yang lebih nyata. Mereka adalah orang-orang yang tidak berpikir banyak TENTANG non-fisik. Mereka, atau lebih tepatnya Ibnu Taimiyah, menemukan konsep keESAAN Allah itu menjadi masalah perilaku , soal siapa yang dapat dipanggil untuk membantu dan yang tidak bisa. HAL Ini sama dengan perilaku Buddha YANG penuh dgn upacara sekitar TUHAN MEREKA ditempatkan, untuk membedakannya dari badan- badan lain. Mereka membuat satu-satunya badan / BERHALA yang BOLEH dipanggil untuk membantu, terlepas dari apakah orang YANG MEMANGGIL  MEMINTA  BANTUAN  ITU percaya BAHWA YANG dipanggil memiliki kekuatan independen yang aktual dan nyata atau tidak?
Di antara perbedaan lain adalah, seperti mengatakan bahwa semua teks kitab suci harus dipahami secara harfiah. Kenyataannya ini adalah ide-ide tidak konsisten yang mereka gunakan hanya pada saat sesuai tujuan mereka. Kita semua tahu, jika itu tidak sesuai tujuan mereka, mereka akan LARI DARI semua ARTI harfiah dan kamus bahasa Arab dalam pemahaman tentang kata, seperti halnya dengan ARTI KALIMAT  “kħalaqa”:  membuat, dan aĥdatsa: MENGADAKAN ATAU membawa ke dalam keberadaan yang membutuhkan tempat danio adalah sifat makhluq. Ini dilakukan ketika mereka mengatakan bahwa SIFAT AL QURAN yang muhdats tetapi BUKAN makhluuq. Suatu interpretasi yang sangat  jauh dari masuk akal…!! Sungguh itu suatu yang kotradiktif,  bukankah setiap yang muhdats adalah merupakan sifat makhluq? Meraka tidak berani konsisten karena para Ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang meyakini bahwa Al-Qur’an itu makhluk. ( Anwar Badruzzaman  )


bersambung…..

Sumber : http://ummatipress.com/

Ajaran Nabi Bersedekah Atas Nama Mayit, Kenapa Diharamkan Kaum Wahabi?

Wahabi Mengharamkan Ajaran Nabi tentang sedeka atas nama mayitJAMUAN MAKAN PADA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLIL

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada Nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” ( Shahih Muslim hadits No.1004 ).
Berkata Hujjatul Islam Al Imam Nawawi rahimahullah : “Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim juz 7 hal 90)
Dan juga telah tsabit didalam shahih al-Bakhari dari Abdullah bin ‘Umar bin al-‘Ash, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : “Ya Rasulullah apakah amal yang baik dalam Islam ? Nabi menjawab : “memberikan makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal dan tidak dikenal”. (Shahih al-Bukahri no. 12 ; Shahih Muslim no. 39 ; Sunan Abi Daud no. 5194 ; Sunan an-Nasaa’i no. 5000 ; Sunan Ibnu Majah no. 3253 ; al-Mu’jam al-Kabir lil-Thabraniy no. 149.)
Dalam sebuah hadits dari Thawus radliyallahu ‘anh menyebutkan : “Sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan untuk memberi jamuan makan yang pahalanya untuk mayyit selama masa 7 hari tersebut”. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan Abu Nu’aim didalam al-Hilyah.) Imam al-Hafidz As Suyuthi mengatakan bahwa lafadz “kanuu yustahibbuna”, memiliki makna kaum Muslimin (sahabat) yang hidup pada masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa salllam , sedangkan Nabi mengetahuinya dan taqrir atas hal itu. Namun, dikatakan juga sebatas berhenti pada pada sahabat saja dan tidak sampai pada Rasulullah. (Lihat : al-Hawi lil-Fatawi lil-Imam as-Suyuthi [2/377],)
Berkata Shohibul Mughniy : Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang, maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru – niru perbuatan jahiliyah. (Almughniy Juz 2 hal 215)
Lalu Shohibul Mughniy menjelaskan kemudian : Bila mereka melakukannya karena ada sebab atau hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yang hadir mayyit mereka ada yang berdatangan dari pedesaan, dan tempat – tempat yang jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bias tidak terkecuali mereka mesti dijamu ( Almughniy Juz 2 hal 215 ).

PENJELASAN TERKAIT HADITS KELUARGA JA’FAR

Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah didalam al-Umm beristidlal dengan hadits diatas terkait anjuran memberi makan untuk keluarga almarhum : “Aku mengajurkan bagi tetangga almarhum atau kerabat-kerabatnya agar membuatkan makanan pada hari kematian dan malamnya, sebab itu merupakan sunnah, dzikr yang mulya dan termasuk perbuatan ahlul khair sebelum kita serta sesudah kita”.
“Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari niyahah”. (Musnad Ahmad bin Hanbal no. 6905.)
Adapun pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan adalah :
“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulangulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”. Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram”. ( al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147 )
Lebih jauh, juga perlu di ingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah menyeluruh dan harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait. Dalam hal ini, ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh Abu Daud, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya sebagai berikut :
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur : “perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada bagian kepalanya”, Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red) mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka. Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda: “aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”. Kemudian wanita itu berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “berikanlah makanan ini untuk tawanan”. (Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih.)
Hadits ini tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan (jamuan) dan mengajak manusia memakannya.
Secara dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib ini, sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka harus dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. ( at-Tabshirah fi Ushul al-Fiqh lil-Imam asy-Syairazi [1/153]). Maka, kedua hadits diatas dapat dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am ‘anil mayyit (memberikan makan atas nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “ atau hal itu bisa membawa kepada niyahah yang diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan karena menjalankan adat (kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat “ith’am ‘anil mayyit” atau pun ikramudl dlayf (memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan tersebut tidaklah mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi ‘illat hukum tersebut.
Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Sa’id al-Khadami al-Hanafi [3/205] : “Mushannif berkata didalam syarahnya dari pembesar al-Halabi “sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah menelatakkan tangannya dan di ikutilah orang rombongan (sahabat), kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan sesuapan yaitu secabik daging ke mulutnya”. Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai”.
Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617] Ahmad bin Muhammad bin Isma’il ath-Thahthawi al-Hanafi : “… Maka hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menghidangkan makanan dan mengajak manusia padanya bahkan juga di sebutkan didalam al-Bazaziyyah dari kitab al-Ihtihsan “dan jika menghidangkan makanan untuk fuqaraa’ maka itu bagus”. Selesai.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan : “dan apa yang diadatkan (dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi mengajak manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih dari Jarir “Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat didalamnya daripada berlebihanlebihan dengan perkara kesedihan”. ( Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [3/207 ])
Hal ini juga disebutkan oleh al-‘Allamah as-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anatuth Thalibin. Maka, illat tersebut tidak terdapat pada kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memang paham mengenai kenduri arwah ( tahlilan ). Jika tidak ada illat maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah syafi’iyah hukum itu meliputi disertakannya illat. (Kifayatul Akhyar lil-Imam Taqiyuddin al-Hishni [1/526] ; Asnal Mathalib lil-Imam Zakariya al-Anshari [3/105]) Oleh karena itu, berkumpul (berhimpun) yang dimaksud pada hadits Jarir adalah jika bukan karena untuk membaca al-Qur’an, berdo’a dan dzikir-dzikir lain. Adapun jika berkumpul untuk tujuan tersebut, maka itu tidak makruh, sebagaimana telah jelas perkataan Syaikhul Madzhab Syafi’i yakni Imam an-Nawawi rahimahullah : “Sebuah cabang : tidak dihukumi makruh pada pembacaan Qur’an secara berkumpul (berhimpun) bahkan itu mustahabbah (sunnah)”( al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [2/166])
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan ‘ulama lainnya didalam al-Majmu’ : “Shahibusy Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun keluarga almarhum mengurusi (membuat) makanan serta berkumpulnya manusia padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun tentangnya, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahabbah, inilah perkataan shahibusy Syamil. dan istidlal untuk hal ini berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada kata “setelah pemakaman mayyit”. (al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [5/320] ; Raudlatuth Thalibin (1/145).)
Beliau mengatakannya tidak disukai (Ghairu Mustahibbah) bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yang dicintai, ini berarti hukumnya mubah atau makruh, bukan haram,
Telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah (salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain) sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan : “Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. (al-Hawi al-Fatawi [2/234] lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.)
Hal ini kembali di kisahkan oleh al-‘Allamah al-Jalil asy-Syaikh al-Fadlil Muhammad Nur al-Buqis didalam kitab beliau yang khusus membahas kegiatan tahlilan (kenduri arwah) yakni “Kasyful Astaar” dengan menaqal perkataan Imam As-Suyuthi :
“Sungguh sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai informasi kepadaku dan aku menyaksikan sendiri bahwa hal ini (kenduri memberi makan 7 hari) berkelanjutan sampai sekarang di Makkah dan Madinah (tetap ada) dari tahun 1947 M sampai aku kembali Indonesia tahun 1958 M. Maka faktanya amalan itu memang tidak pernah di tinggalkan sejak zaman sahabat nabi hingga sekarang, dan mereka menerima (memperoleh) cara seperti itu dari salafush shaleh sampai masa awal Islam. Ini saya nukil dari perkataan Imam al-Hafidz as-Suyuthi dengan sedikit perubahan. al-Imam al-Hafidz As-Suyuthi berkata : “disyariatkan memberi makan (shadaqah) karena ada kemungkinan orang mati memiliki dosa yang memerlukan sebuah penghapusan dengan shadaqah dan seumpamanya, maka jadilah shadaqah itu sebagai bantuan baginya untuk meringankan dosanya agar diringankan baginya dahsyatnya pertanyaan kubur, sulitnya menghadapi menghadapi malaikat, kebegisannyaa dan gertakannya”. (Kasyful Astaar lil-‘Allamah al-Jalil Muhammad Nur al-Buqir, beliau merupakan murid dari ulama besar seperti Syaikh Hasan al-Yamani, Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutubi, Syaikh Sayyid Alwi Abbas al-Maliki, Syaikh ‘Ali al-Maghribi al-Maliki, Syaikh Hasan al-Masysyath dan Syaikh Alimuddin Muhammad Yasiin al-Fadani.)
Tahlilan juga berbeda dengan ma’tam. Perbedaan ini sebenarnya nampak jelas baik dari prakteknya, sebab pokok yang melatar belakangi juga tujuan masing-masing. Namun, kadang masih saja ada yang melarang bahkan mengharamkan tahlilan dengan beralasan ma’tam. Walaupun ini tidak tepat apalagi dengan membawa-bawa qaul Imam Syafi’i. Istilah ma’tam sebenarnya muncul karena perempuan berkumpul padanya dan ma’tam sendiri didalam kamus arab didefinisikan antara lain : Lisanul ‘Arab Ibnu Mandhur al-Anshari al-Ifriqii [12/3-4]. Dan didalam kitab Fiqh Maliki yaitu Mawahibul Jalil karya al-Hathib ar-Ru’ayni [2/241 ] menyebutkan masalah ma’tam dengan cukup jelas :berkumpulnya manusia pada kematian dinamakan ma’tam. Didalam an-Nihayah : ma’tam pada asalnya merupakan berkumpulnya perempuan dan laki-laki didalam hal kegembiraan dan kesedihan, kemudian dengannya hanya di khususkan bagi perkumpulan perempuan pada kematian. Didalam Ash-Shihhah : ma’tam menurut orang arab adalah perempuan yang berkumpul didalam hal kebaikan dan keburukan, umumnya pada mushibah, mereka mengatakan : kami berada di ma’tam fulan, yang benar seharusnya di katakan ; kami berada di tempat ratapannya fulan.
Ucapan Imam Syafi’i rahimahullah yang kadang dijadikan dalil untuk melarang tahlilan bahkan mengharamkan tahlilan yaitu sebagaimana tercantum dalam kitab al-Umm : “Aku benci (menghukumi makruh) ma’tam, dan adalah sebuah kelompok (jama’ah), walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, karena yang demikian memperbaharui kesedihan, dan membebani biaya bersamaan perkara yang sebelumnya pernah terjadi (membekas) padanya”.
Imam Syafi’i rahimahullah sama sekali tidak memaksudkan kegiatan seperti tahlilan. Oleh karena itu sama sekali tidak tepat jika membawanya pada pengertian tahlilan, yang kemudian dengan alasan tersebut digunakan untuk melarang tahlilan. Karena tahlilan memang berbeda dengan ma’tam. Penghukuman makruh oleh al-Imam Syafi’i diatas dengan mempertimbangkan ‘illat yang beliau sebutkan yaitu yujaddidul huzn (memperbaharui kesedihan), sehingga apabila ‘illat tersebut tidak ada maka hukum makruh pun tidak ada, sebab dalam kaidah ushul mengatakan : “ketahuilah bahwa ‘illat didalam syariat adalah bermakna yang menunjukkan hukum” (al-Luma’ fiy Ushul Fiqh [1/104] Imam Asy-Syairazii).
Wallohu a’lam.
Sumber : http://ummatipress.com/ajaran-nabi-bersedekah-atas-nama-mayit-kenapa-diharamkan-kaum-wahabi.html

Aqidah Ajaran Nabi yang Dibilang Sesat Oleh Salafy Wahabi

Sifat Dua Puluh Adalah Aqidah Lurus Para Habib yang  Diwarisi dari Ajaran Datuknya; Rasulullah Muhammad Saw
Di kalangan para pengikut Salafy/Wahabi, sifat dua puluh selalu diisukan sebagai aqidah sesat. Mereka menyebut penganut aqidah sifat dua puluh sebagai golongan sesat masuk neraka.  Dengan sinis tanpa malu-malu mereka menjuluki kaum Ahlussunnah Waljama’ah sebagai Asysya’iroh/asy’ariyyun. Akan tetapi walaupun mereka bermaksud sinis, di sisi lain kaum Asy’ari tetap bangga dan percaya diri jika dijuluki dengan Asy’riyyun, karena memang perumus sifat dua puluh adalah Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Berbeda dengan Salafy Wahabi yang akan marah atau tersinggung berat  jika disebut Wahabi. Terkesan mereka tidak PEDE dengan julukan itu mengindikasikan ada something wrong dengan ajaran aqidah mereka. Mereka amat sangat berkeinginan agar kaum Ahlussunnah Waljama’ah mau meninggalkan sifat dua puluh dan beralih ke tauhid versi aqidah Wahabi yaitu tiga tauhid; tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah, tauhid Asma’ washifat.
Ada komentar menarik di blog ini tentang Ahlussunnah Waljama’ah yang disampaikan oleh Wong Ko Lutan dan Ahmad Syahid. Komentar ini sebagai jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan Sekar yang merasa bingung tentang apa itu Ahlussunnah Waljama’ah. Sebab semuanya mengklaim sebgai Ahlussunnah Waljama’ah. Tentu saja kita tidak usah bingung, sebab kita masih bisa melacak sejarah dari masing-masing firqah Islam tersebut.
Mari kita simak penjelasan oleh Wong Ko Lutan dan Ahmad Syahid tersebut……
Wong Ko Lutan Say:
Sekar yang bingung, Antum tidak usah bingung lagi,
Berikut ini adalah Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)
-Ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad SAW.
-Wal-Jama’ah berarti penganut i’tiqad jama’ah sahabat Nabi.

-Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah ialah kaum yang menganut i’tiqad yang dianut Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat beliau.
I’tiqad Nabi dan para sahabat itu sudah termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, terdapat dalil secara terpencar di beberapa ayat dalam surat-surat Al-Qur’an, belum tersusun secara sitematis. I’tiqad itu kemudian dihimpun dan dirumuskan secara sistematis sebagai ilmu aqidah oleh seorang ulama besar di bidang Ilmu Aqidah (ushuluddin), yaitu Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Ulama besar ini dilahirkan di kota Bashrah, Iraq pada tahun 260 H/873 M, dan meninggal dunia di kota itu juga pada tahun 324 /935 M, dalam usia 64 tahun.
Karena i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah dihimpun dan dirumuskan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy’ari maka ada yang menyebut kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan ‘Al-Asy’ariyah’ sebagaimana Wahabiyah untuk sebutan arabnya Wahabi. Kalau ada yang menyebut Asy’ariyah, maksudnya adalah pengikut-pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari seorang Ulama penghimpun dan perumus i’tiqad Ahlusuunnah Waljama’ah berdasar Al-qur’an dan Hadits Nabi SAW..
Ada juga sering terdengar perkataan ‘Sunni’ maksudnya adalah kependekan Ahlussunnah wal Jama’ah, orang-orangnya disebut dalam bahasa arab sebagai ‘Sunniyyun’.
Adapun tokoh kedua i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah ialah Abu Manshur Al-Maturidi. Faham dan i’tiqadnya sama atau hampir sama dengan faham i’tiqad Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Beliau lahir di kota Maturidi, Samarqand (termasuk wilayah Uzbekistan Soviet sekarang) kira-kira pada pertengahan abad ke -3 H dan meninggal di Samarqand pada tahun 332 H/944 M, 9 tahun setelah wafatnya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.
Kedua tokoh tersebut di atas adalah sebagai penggali, perumus, penyiar sekaligus mempertahankan apa yang sudah termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits, yang sudah di-i’tiqad oleh Nabi Muhammad SAW, serta sahabat-sahabat beliau.
Dalam kitab ‘Ithafu Sadatil Muttaqin’ yang ditulis oleh Imam Muhammad Al-Husni Az-Zabidi, yaitu syarah kitab ‘Ihya’ Ulumuddin’ karya Imam Al-Ghazali, ditegaskan sebagai berikut, yang artinya: “Manakala disebut Ahlussunnah wal Jama’ah, maka maksudnya ialah Muslimin yang mengikuti rumusan (faham) Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Mathuridi”.
Nah, belakangan sejak muncul Wahabi dari Nejd yang kemudian juga melahirkan tokoh kenamaan mereka Yaitu Saikh Nashir (din) Al-Albani maka dia menyabot (sabotase, membajak) nama Ahlussunnah Waljama’ah untuk dipaksakan dipakai firqah Wahabi, padahal sebelumnya mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Muwahidun (orang-orang bertauhid). Menurut jejak sejarah, mereka sebelumnya tidak dikenal sebagai Ahlussunnah Waljama’ah.  Karena Mereka memaksakan diri dalam memakai sebutan Ahlussunnah Waljama’ah, maka di lapangandakwahnya akhirnya mereka selalu berbenturan dengan Ahlusunnah Waljama’ah yang asli.
Sebagai contoh;
-Ahlussunnah Waljama’ah menyunnahkan Tawassul kepada Nabi setelah wafatnya, Wahabi justru memvonis musyrik kepada pelaku tawassul.

-Ahlussunnah Waljama’ah menagkui ilmu Tasawwuf, justru Wahabi memusyrikkan pelaku Tasawwuf.

-Ahlussunnah menyunnahkan ziarah makam Nabi, justru Wahabi melarangnya bahkan sampai memusyrikkan pelaku ziarah tsb.

-Ahlussunnah Waljama’ah membolehkan menggunakan Hadits dlo’if, Wahabi justru menyamakan hadits dlo’if dengan hadits Maudlu’ (palsu).

-Masih banyak lagi, sehingga para pengikut Wahabi terpaksa harus merombak kitab-kita ulama mu’tabar agar sesuai dangan hawa nafsu Wahabi.
Bahkan Wahabi tanpa sungkan memvonis sesat kepada tokoh sentral Ahlussunnah Waljama’ah yaitu Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Mathuridi.
Demikian Sekar,
Tentunya Wahabi memiliki versi sendiri tentang Ahlussunnah Waljama’ah, inilah sebabnya kenapa Wahabi disebut juga sebagai fitnah dalam Islam, yaitu Fitnah Wahabi. Belakangan mereka juga menyebut diri mereka sebagai Salafy …. Mungkin mereka ingin menghapus citra buruk Wahabi dengan mengganti namanya jadi Salafy dan mengaku sebagai Ahlussunnah Waljama’ah. Tapi tentunya ciri Wahabi yang melekat pada mereka tidak serta-merta hilang dengan ganti nama tersebut.
Wallohu a’lam bish-shawab
*****
Penjelasan di atas diperkuat oleh keterangan saudara Ahmad Syahid sebagai berikut:
Sekar,
perdebatan soal Bid`ah sudah cukup lama terjadi dan hingga hari ini belum juga mencapai titik temu. Kesimpulan Akhir bagi saya adalah mengikuti Mayoritas kaum muslimin sebagaimana wasiat Rosulallah SAW agar kaum muslimin tetap berada pada mayoritas. Sebab Allah SWT tidak akan mengumpulkan ummat Islam dalam kesesatan. Dan dari dulu hingga kini mayoritas ummat Islam baik yang Ulama, ataupun yang awam tergabung dalam Aqidah Ahlu Sunnah Waljama’ah ‘ala Asy`ariyah dan Maturudiyah.
Klik di sini untuk melihat Komentar Saudara Wong Ko Lutan dan Ahmad Syahid tersebut.
*****
Tahukah anda bahwa ternyata Mayoritas Ummat Islam di seluruh dunia dan Para Habib anak cucu Rasulullah Saw juga mengikuti aqidah sifat dua puluh yang  dihimpun  dan disusun oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari?
Di bawah ini adalah cover depan dan belakang dari buku “AKIDAH MENURUT AJARAN NABI “, ditulis kembali oleh Habib Hasan Husen Assagaf.  Buku ini merupakan syarah (penjelasan) kitab Durus Al-’Aqaid Ad-Diniyyah juz ke 4, karya kakeknya yaitu Habib Abdurrahman bin Saggaf bin Husen binAbubakar bin Umar bin Saggaf Assagaf. Silahkan baca sinopsis singkat tentang sifat dua puluh di cover belakangnya.

Menyibak Misteri Salafy Wahabi dan Tipu Dayanya Kepada Ummat Islam


Belakangan ini, Indonesia sedang dilanda gelombang besar paham baru keislaman yang beraneka ragam bentuknya dan sangat menyesatkan. Munculnya sikap-sikap ekslusif dan arogan dari para pengusung atau pengikut masing-masing paham tersebut telah semakin meresahkan masyarakat. Merasa diri berhak berupaya mengkaji al-Qur’an atau hadis, merasa diri paling benar dan yang lain salah, menganggap kesesatan itu hanya Allah yang berhak memvonisnya, dan menganggap pemahaman umat Islam tentang agama selama ini keliru, semua dalih itu telah menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu perpecahan di kalangan ummat Islam.
Para ulama pun tidak tinggal diam, demi menyaksikan “kekacauan” tersebut. Sebagai wujud tanggung jawab mereka kepada Allah, maka mereka terus berupaya membentengi umat dari serangan paham-paham sesat tersebut, baik secara perorangan melalui mimbar-mimbar masjid atau majlis-majlis ta’lim, maupun secara lembaga seperti yang dilakukan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Upaya itu mereka wujudkan dalam bentuk penjelasan-penjelasan atau fatwa-fatwa yang menyatakan bahwa paham-paham tersebut sesat dan menyesatkan.
Meskipun begitu, fatwa-fatwa para ulama terutama MUI (Majelis Ulama Indonesia) tersebut seringkali menghadapi kendala, baik dari pihak-pihak yang tidak senang dengan fatwa-fatwa tersebut, maupun dari pihak pemerintah yang tidak selalu siap mengakomodir fatwa-fatwa itu dengan fasilitas hukum. Sehingga para ulama terkesan hanyalah sebagai kumpulan orang-orang sok tahu yang gemar mempermasalahkan orang lain, sedang fatwa-fatwa mereka tak ubahnya bagaikan gonggongan anjing yang tidak perlu dihiraukan.
Namun begitu, alhamdulillah, berkat para ulama tersebut, masyarakat banyak yang terselamatkan dari bahaya kesesatan. Mereka dapat mengenal paham-paham sesat dan menjauhinya dengan bimbingan fatwa-fatwa mereka. Meski demikian, bukan berarti keresahan dan perpecahan di kalangan masyarakat Islam dapat hilang dengan mudah. Sistem hukum dan undang-undang yang sekuler serta pemerintahan yang tidak tegas dalam menindak pelaku kesesatan, adalah salah satu yang paling mendukung keleluasaan orang-orang berpaham sesat untuk bertahan dan menyebarluaskan kesesatannya.
Berbeda pendapat adalah hak asasi setiap orang yang dilindungi undang-undang di negara ini. Sayangnya, karena tidak adanya batasan yang jelas, perbedaan pendapat itu seringkali memasuki wilayah prinsip dalam agama yang seharusnya dihindari. Malahan agamalah yang sering menjadi korban empuk argumentasi perbedaan pendapat itu sambil berlindung di balik payung HAM (Hak Asasi Manusia) yang sekuler. Sehingga sepanjang perbedaan itu masih ada (bahkan dilindungi), potensi perpecahan pun akan tetap eksis.
TIDAK DIANGGAP SESAT TAPI MERESAHKAN
Dalam pada itu, ada aliran atau paham yang tidak pernah difatwakan oleh lembaga formal para ulama Indonesia seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia), namun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia bahkan di kalangan umat Islam di dunia terbukti sangat meresahkan. Faham itu bernama Salafi dan Wahabi. Banyak ulama yang secara pribadi bahkan telah terang-terangan menyatakan faham ini sebagai “masalah” di kalangan umat Islam.
Tidak difatwakan sebagai aliran sesat, tidak selalu berarti lurus dan benar. Sebab apa yang hakikatnya lurus dan benar seyogyanya tidak memunculkan masalah dalam prakteknya pada kehidupan sosial, kecuali hanya akan menghadapi tantangan dari orang-orang kafir atau munafik yang tidak suka terhadap Islam.
Pertanyaannya, mengapa kaum Salafi dan Wahabi ini di satu sisi hampir tidak pernah “bermasalah” dengan orang-orang kafir, di sisi lain malah gemar sekali “mempermasalahkan” saudaranya sendiri sesama muslim yang mayoritas tidak sepaham dengan mereka? Bagaimana mungkin pengakuan mereka sebagai pengikut al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Saw. dapat dibenarkan, sementara sikap mereka bertolak belakang dengan ciri-ciri pengikut Rasulullah Saw. yang difirmankan oleh Allah Swt., “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…”(QS. al-Fath: 29)? Ayat al-Qur’an atau hadis Rasulullah Saw. yang manakah yang menyuruh mereka bersikap “keras” terhadap saudaranya yang muslim?
Berbagai kasus ketidaknyamanan yang disampaikan masyarakat di berbagai wilayah akibat fatwa-fatwa dan pernyataan kaum Salafi dan Wahabi inilah yang menjadi motivasi kuat bagi kami untuk membuat buku atau film dakwah ini. Propaganda paham mereka yang lumayan gencar melalui terbitan buku-buku terjemahan dan siaran Radio seperti Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja’ Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz) telah semakin meresahkan.
Menganggap sesat amalan orang lain dengan tuduhan bid’ah dan menganggap hanya diri merekalah yang sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta Sunnah para Shahabat beliau, menjadi tema utama dakwah mereka. Bahkan dengan alasan itu mereka berani mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan terhadap amalan masyarakat yang “berbau agama” di mana fatwa-fatwa tersebut tanpa mereka sadari penuh tipu daya dan fitnah, dan dari sinilah masalahnya dimulai.
Keawaman masyarakat tentang agama telah memberi tempat yang cukup besar bagi mereka untuk menyebarkan paham Salafi dan Wahabi tersebut, sehingga semakin banyak pengikutnya, semakin kuat ekslusivisme mereka. Saat seorang muslim sudah tidak menganggap muslim yang lain sama dengan dirinya, dan saat ia sudah tidak merasa nyaman berkumpul bersama muslim yang tidak sepaham dengannya, maka mengasingkan diri dan mencari kumpulan orang-orang yang sepaham dengannya adalah jalan keluarnya. Itulah ekslusivisme; itulah kesombongan; dan itulah sumber perpecahan.
Lebih ekstrimnya lagi, ketika sudah merasa kuat, propaganda mereka jalankan dengan terang-terangan, bahkan tak jarang (dan ini terbukti) sampai pada perebutan atau penguasaan lahan dakwah seperti masjid, musholla, ta’lim di kantor-kantor, atau minimal merintis kumpulan pengajian tandingan baik di tempat-tempat tersebut maupun di rumah-rumah. Akibatnya, tanpa disadari mereka sudah menguasai sarana kegiatan dakwah di beberapa komplek perumahan, dan telah merebut anggota “jama’ah” pengajian para ustadz di wilayah setempat yang berbuntut pada terganggunya hubungan silaturrahmi antar anggota jama’ah tersebut.
Buku ini dibuat bukan untuk memperbesar jurang perpecahan tersebut, melainkan untuk memperbaiki keadaan yang tidak nyaman itu dan meluruskan apa yang seharusnya diluruskan dengan cara menyingkap kekeliruan-kekeliruan pemahaman kaum Salafi dan Wahabi yang sangat tersembunyi dan hampir tidak pernah disadari oleh para pengikutnya bahkan tokoh-tokoh ulamanya.
Di satu sisi, melalui buku ini kami berharap agar masyarakat awam yang belum terpengaruh dapat membentengi diri dari paham yang merusak silaturrahmi ini, di sisi lain kami juga sangat berharap agar orang-orang yang sudah mengikuti paham Salafi dan Wahabi dapat menyadari kekeliruannya lalu berusaha memperbaikinya, atau bahkan meninggalkannya. Itulah kenapa buku ini kami beri judul “MENYINGKAP TIPU DAYA & FITNAH KEJI FATWA-FATWA KAUM SALAFI & WAHABI”.
Semoga Allah senantiasa memberikan taufiq kepada kita untuk dapat melihat yang benar sebagai kebenaran dan memberikan kita kekuatan untuk mengikutinya, serta memperlihatkan yang batil sebagai kebatilan dan memberikan kita kekuatan untuk menjauhkan diri darinya. Kepada-Nya lah kami berserah diri, dan kepada-Nya lah kami kembali.
SEKILAS TENTANG SALAFI & WAHABI
Salafi atau Salafiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan kepada Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H) atau yang sering dikenal dengan panggilan Ibnu Taimiyah. Salafi atau Salafiyah itu sering dipahami sebagai gerakan untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau.
Wahabi atau Wahabiyah adalah sebutan untuk kelompok atau paham keagamaan yang dinisbatkan kepada pelopornya yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1702 M-1787 M/ 1115 H-1206 H). sebetulnya, nama Wahabi ini tidak sesuai dengan nama pendirinya, Muhammad, tetapi begitulah orang-orang menyebutnya. Sedangkan para pengikut Wahabi menamakan diri mereka dengan al-Muwahhiduun (orang-orang yang mentauhidkan Allah), meskipun sebagian mereka juga mengakui sebutan Wahabi.
Kedua paham di atas, Salafi & Wahabi, sebenarnya memiliki hubungan tidak langsung yang cukup erat, yaitu bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah termasuk pengagum Ibnu Taimiyah dan banyak terpengaruh oleh karya-karya tulis Ibnu Taimiyah.
Itulah mengapa kedua ajaran mereka memiliki kesamaan visi dan misi, yaitu “Kembali kepada Al-Qur’an & Sunnah Rasulullah Saw. beserta para Sahabat beliau,” sehingga apa saja yang “mereka anggap” tidak ada perintah atau anjurannya di dalam Al-Qur’an, Sunnah, atau atsar Sahabat Nabi Saw., langsung mereka anggap sebagai bid’ah (perkara baru yang diada-adakan) yang diharamkan dan dikategorikan sebagai kesesatan, betapapun bagusnya bentuk suatu kegiatan keagamaan tersebut, dengan dasar hadis Nabi Saw. “… kullu bid’atin dhalalah, wa kullu dhalalatin fin-naar” (setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan dimasukkan ke dalam Neraka).
Dengan visi dan misi inilah maka para pengikut mereka di zaman ini menamai diri mereka dengan sebutan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (penganut Sunnah Nabi Muhammad Saw. & para Sahabat beliau) yang pada hakikatnya berbeda dari pengertian Ahlus-sunnah wal-Jama’ah yang dipahami oleh para ulama Islam di dunia (yaitu yang mempunyai hubungan historis dengan al-Asy’ari dan al-Maturidi ).
Visi  “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta para Sahabatnya”  tersebut telah mendorong mereka untuk melaksanakan sebuah misi “memberantas Bid’ah & Khurafat”. Sekilas visi & misi itu terlihat sangat bagus, namun dalam prakteknya ternyata seringkali menjadi sangat berlebihan. Mengapa? Karena semua bid’ah & khurafat yang mereka anggap sesat dan wajib diberantas itu mereka definisikan sendiri tanpa mengkompromikan dengan definisi atau penjelasan para ulama terdahulu. Terbukti, pada masa hidupnya saja, baik Ibnu Taimiyah maupun Muhammad bin Abdul Wahab, sudah dianggap “aneh” bahkan cenderung dianggap sesat ajarannya oleh para ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) yang keseluruhannya menganut paham ahlus-Sunnah wal-jama’ah.
Hal itu terjadi karena Ibnu Taimiyah kerapkali mengeluarkan fatwa-fatwa ganjil mengenai aqidah atau syari’at yang menyelisihi ijma’ para ulama, sehingga ia sering ditangkap, disidang, dan dipenjara, sampai-sampai ia wafat di dalam penjara di Damaskus. Dan tercatat ada 60 ulama besar (baik yang sezaman dengan Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya) yang menulis pembahasan khusus untuk mengungkap kejanggalan dan kekeliruan pada sebagian fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dalam begitu banyak karyanya (lihat al-Maqaalaat as-Sunniyyah karya Syaikh Abdullah al-Harary).
Sedangkan Muhammad bin Abdul Wahab yang datang belakangan jauh lebih beruntung. Ia didukung oleh seorang Raja yang berhasil menguasai Mekkah (Hijaz) yang bernama Muhammad bin Sa’ud atau lebih dikenal dengan Ibnu Sa’ud (penaklukan Hijaz ke-I th. 1803-1813 M, penaklukan ke-II th. 1925 M masa Raja Abdul Aziz bin Sa’ud dengan bantuan Inggris sampai sekarang).
Itulah mengapa Mekkah, Madinah dan sekitarnya sekarang dikenal dengan “Saudi”/Sa’udi Arabia (dinisbatkan kepada Ibnu/bin Sa’ud atau Aalu Sa’ud/keluarga Sa’ud). Dengan dukungan kekuasaan dan dana dari Raja Ibnu Sa’ud itulah maka ajaran Wahabi menjadi paham wajib di Saudi Arabia, dan menyebar luas sekaligus membuat resah umat Islam di negeri-negeri yang lain.
Mengapa Wahabi dianggap meresahkan? Karena fatwa-fatwa ulama Wahabi tentang bid’ah dan khurafat yang disebarluaskan itu seringkali berbenturan dengan adat istiadat atau tradisi keagamaan umat Islam di masing-masing negeri, padahal tradisi mereka itu telah berlangsung sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan telah dijelaskan kebolehan atau keutamaannya oleh para ulama ahlus-Sunnah wal-jama’ah.
Tradisi keagamaan yang sering dianggap bid’ah dan sesat itu di antaranya: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian, do’a dan zikir berjama’ah, ziarah kubur, tawassul, membaca al-Qur’an di pekuburan, qunut shubuh, dan lain sebagainya yang masing-masing memiiki dasar di dalam agama. Jelasnya, keresahan itu muncul karena fatwa-fatwa para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) tersebut bertentangan dengan fatwa-fatwa mayoritas ulama yang dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islam di dunia. Akibatnya mereka menjadi seperti orang usil yang selalu menyalahkan dan mempermasalahkan amalan orang lain, lebih dari itu bahkan mereka menganggap sesat orang yang tidak sejalan dengan Wahabi.
(Untuk lebih jelas, baca “I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta. Juga baca “Maqaalaat as-Sunniyyah fii Kasyfi Dhalaalaati Ibni Taimiyah”, karya Syaikh Abdullah al-Harary, diterbitkan oleh Daarul-Masyaarii’ al-Khairiyyah, Libanon).
Ajaran Salafi Ibnu Taimiyah dilanjutkan oleh murid-muridnya, di antara yang paling dikenal adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Sedangkan ajaran Wahabi disebarluaskan oleh para ulama Wahabi yang diakui di Saudi Arabia, yang paling dikenal di antaranya adalah: Nashiruddin al-Albani, Abdul Aziz bin Baz, Shalih al-Utsaimin, Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin, dan lain-lain. Namun begitu, kita berusaha bersikap proporsional dalam menyikapi ajaran yang mereka sampaikan. Artinya, apa yang baik dan sejalan dengan pendapat para ulama mayoritas maka tidak kita kategorikan ke dalam penyimpangan atau kesesatan.
Perlu diketahui, bahwa meskipun dasar kemunculannya berbeda, namun belakangan Salafi & Wahabi seperti satu tubuh yang tidak bisa dibedakan, yaitu sama-sama memandang sesat atau bid’ah terhadap acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tahlilan kematian, ziarah kubur, tawassul, menghadiahkan pahala kepada orang meninggal, berdo’a & berzikir berjama’ah, bersalaman selesai shalat berjama’ah, membaca al-Qur’an di pekuburan, berdo’a menghadap kuburan, dan lain sebagainya. Dan boleh dikatakan, bahwa Salafi & Wahabi sekarang sudah menjadi mazhab tersendiri yang lebih ekstrim dalam berfatwa ketimbang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab sendiri.
Di Indonesia, fatwa-fatwa Salafi & Wahabi banyak disebarluaskan oleh para mahasiswa atau sarjana yang sebagian besarnya adalah alumni Perguruan Tinggi di Saudi Arabia atau mereka yang mendapat beasiswa di lembaga pendidikan Saudi Arabia. Di samping itu, paham Wahabi juga disebarluaskan melalui buku-buku terjemahan, yang kini menghiasi berbagai toko buku atau stan-stan pameran buku. Bahkan, buku–buku mereka juga dibagi-bagi secara gratis, baik melalui Atase Kedubes Saudi Arabia, maupun lembaga pendidikan Saudi Arabia seperti LIPIA atau yang lainnya. Buku-buku seperti itu juga dibagikan kepada semua Jama’ah Haji secara gratis setiap tahunnya, akibatnya sebagian mereka mengalami perang batin dalam menimbang-nimbang kebenaran.
Di samping melalui buku-buku dan forum-forum kajian keagamaan, fatwa-fatwa Wahabi  & Salafi juga disebarluaskan melalui siaran radio, seperti: Radio Dakta Bekasi (FM/107 Mhz), Radio Roja’ Cileungsi (AM/756 Mhz), dan Radio Fajri Bogor (FM/91,4 Mhz).
Di Indonesia juga terdapat ormas-ormas Islam yang prinsip dasar atau metodologi ajarannya sama atau hampir sama dengan Salafi & Wahabi seperti Muhammadiyah, PERSIS, Al-Irsyad, PUI (Persatuan Umat Islam), Paderi, Sumatra Tawalib, dan lain-lain (lihat Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, jilid 4, hal. 205), hanya saja ada sebagian yang tidak seekstrim mereka. Tetapi kadang sebagian anggota ormas-ormas itupun memiliki sikap ekslusivisme yang sama dengan Salafi & Wahabi, sehingga dalam kajian ini penulis tidak memisahkan mereka sebagai kelompok tersendiri, dan menganggapnya sejenis dengan kaum Salafi & Wahabi jauh lebih layak untuk sebuah pemahaman agama dengan ciri yang sama, entah sebagian ciri atau keseluruhannya.
***
Dalam kajian ini kami tidak ingin berpanjang kalam tentang Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab, menimbang keperluannya yang tidak terlalu urgen dalam pembahasan ini.. Sebab sepertinya, para pengikut mereka sekarang sudah lebih independen dalam berijtihad dan berfatwa mengenai perkara-perkara baru yang mereka anggap bagian dari agama yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau..
Bahkan dalam beberapa hal mereka tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab. Hal ini menunjukkan bahwa kaum Salafi dan Wahabi sekarang ini hanya mengambil motto utama yang sangat global dari Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu “kembali kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan Sunnah para Shahabat beliau”, sedang dalam perkara-perkara detailnya mereka cenderung pilih-piih.
Itulah kenapa konsentrasi pembahasan ini lebih pada fatwa-fatwa ulama Salafi dan Wahabi, di mana fatwa-fatwa itulah yang sering menjadi sumber masalah bagi kerukunan hidup beragama antar umat Islam.
APA YANG SALAH, DENGAN “KEMBALI KEPADA AL-QUR’AN & SUNNAH”?
Telah disebutkan di atas, bahwa kaum Salafi & Wahabi memiliki motto “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Mereka juga mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw., sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya?
Sampai di sini mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham Salafi & Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat??! Rasanya, hanya orang gila yang berani menyatakan begitu.
Tetapi, mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat “sumber masalah” yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut.
1.
Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Qur’an atau Sunnah.
Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,  dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya.
Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, mereka merasa benar dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.
2.
Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir),  muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari.
Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai “ahludz-dzikr”, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini. Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut.
Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya.
Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi & Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf.
Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut?
Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi & Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” secara langsung, tetapi juga “kembali kepada pendapat para ulama salaf” secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
3.
Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah “hasil jadi”. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut.
Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw. & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya.
Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan “makanan siap saji” yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran “pendapat” manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.
Seandainya tidak demikian, mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah “mencemarkan agama”, lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur’an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan “pemurnian agama”.
Sesungguhnya, “pencemaran” yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan, sedangkan “pemurnian” yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah.
Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah Saw., padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (hadis)nya.
***
Dari uraian di atas, nyatalah bahwa orang yang “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Amat ironis bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Sumber: http://www.daarulmukhtar.org/

Mencermati dan Menjawab Gerakan Salafi Wahabi


Dewa Hubal dari Najd

Ajaran Yang Muncul dari Najd – Hijaz


Ibnu Umar ra, beliau berkata, “Nabi Muhammad ( shallallahu ‘alaihi wasallam ) berdoa, “Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam dan Yaman kami”,  Mereka berkata, dan terhadap NAJD kami’ Beliau mengulangi doanya, “Ya Allah, berkahilah Syam dan Yaman kami.” Mereka berkata (lagi), ‘danNAJD kami.’ Beliau berdoa, “Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Syam. Ya Allah, berkahilah kami pada negeri Yaman.”  Maka, aku mengira beliau (akan) mengucapkan pada kali yang ketiga, (ternyata) Beliau bersabda “Di sana terdapat kegoncangan-kegoncangan (zalaazil), fitnah-fitnah, dan di sana pula munculnya tanduk setan.’” ( Shahih Bukhari ).
Hadits riwayat Ibnu Umar ra: Bahwa ia mendengar Rasulullah ( shallallahu ‘alaihi wasallam ), bersabda sambil menghadap ke arah timur: Ketahuilah, sesungguhnya fitnah akan terjadi disana! Ketahuilah, sesungguhnya fitnah akan terjadi disana. Yaitu tempat muncul tanduk setan. ( Shahih Muslim No.5167 )

حدثنا عبد الله ثنا أبي ثنا أبو سعيد مولى بنى هاشم ثنا عقبة بن أبي الصهباء ثنا سالم عن عبد الله بن عمر قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم الفجر ثم سلم فاستقبل مطلع الشمس فقال ألا ان الفتنة ههنا ألا ان الفتنة ههنا حيث يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang menceritakan kepada kami ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id maula bani hasyim yang berkata telah menceritakan kepada kami Uqbah bin Abi Shahba’ yang berkata telah menceritakan kepada kami Salim dari ‘Abdullah bin Umar yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengerjakan shalat fajar kemudian mengucapkan salam dan menghadap kearah matahari terbit seraya bersabda “fitnah datang dari sini, fitnah datang dari sini dari arah munculnya tanduk setan”  ( Musnad Ahmad 2/72 no 5410 dengan sanad shahih)
Di Indonesia zaman sekarang ini banyak bermunculan gerakan yang mengatasnamakan Dakwah Islam. Salah satunya yang paling menonjol adalah mereka yang punya jargon “memurnikan tauhid”. Mereka semakin gencar melakukan ekspansi gerakannya melalui berbagai sektor dengan berbagai macam strategi. Baik melalui sektor organisasi di sekolah, organisasi kampus, sampai pada organisasi masyarakat (Ormas) Islam di Indonesia.
Gerakan mereka juga tidak luput dari hiruk pikuk pertarungan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Mereka juga melakukan penyebaran “ajaran” dari musholla ke musholla, dari masjid ke masjid, dan dari rumah ke rumah. Dan mereka tampaknya berhasil mengajak orang-orang awam agama menjadi pengikutnya, bahkan banyak dari pensiunan PNS menjadi pengikut setia dan sangat bangga dengan agama baru mereka, yaitu “ISLAM MURNI” tanpa bid’ah. Setidaknya demikianlah mereka meyakini agama barunya, tanpa tahu asal-usul dan back-ground  sejarah “ajaran” yang baru dianutnya itu.

Bikin Situs Online Aswaja Sebanyak-banyaknya

Berkaitan dengan permasalah di atas, sekarang ini kondisi umat Islam di Indonesia semakin kompleks. Hal ini seiring dengan kompleksnya pemahaman-pemahaman yang diajarkan oleh berbagai macam sekte dengan kepentingan masing-masing. Diharapkan Media Massa saat ini selayaknya meningkatkan peran mereka sebagai sentral penyebaran ajaran berfaham Ahlussunnah Wal Jamaah. Akan tetapi sayang, saat ini Media Massa dikuasai oleh kaum sempalan yang bermodal raksasa. Arus informasi yang berseliweran sedemikian cepat, silih berganti justru disuarakan oleh mereka. Suara Ahlussunnah wal Jamaah seakan tenggelam di tengah lautan informasi yang bersumber dari kaum sempalan. Baik media tulis, cetak, maupun gambar melti media, lebih-lebih informasi online, mereka lebih full power dalam menguasai jagad internet.
Adalah kenyataan bahwa di dunia internet sekarang ini, kalau kita mengetikkan keyword: AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH di Google atau Yahoo, maka yang muncul di sana pastilah situs-situs milik kaum sempalan dari Najd. Begitu juga kalau kita ketikkan keyword; TAUHID, maka yang akan muncul adalah juga situs-situs milik mereka. Sehingga masyarakat internet yang awam agama akan menjadi samar penglihatannya, tak aneh jika kemudian mereka beranggapan bahwa sekte sempalan itulah yang yang merupakan representasi Ahlussunnah Wal Jamaah dan Ahlu Tauhid yang sesungguhnya.
Bukankah kenyataan ini cukup memprihatinkan kita semua, lalu bagaimana sulusinya? Solusinya sudah jelas, kita harus merebutnya kembali dengan cara membangun situs-situs online yang sebanyak-banyaknya, karena kita sebenarnya punya keunggulan sumberdaya manusia Pesantren. Dengan back-ground 32.000 pesantren di Indonesia milik Aswaja, bukankah ini bisa mnejadi sumber daya yang berlimpah ruah? Kita berharap yang dihasilkannya bukan sekedar banyak situs online yang sporadis, tetapi harus dikelola berkesinambungan dari waktu ke waktu tanpa bosan.  Sehingga nanti pada saatnya tiba situs kita punya power lebih besar di Google dan Yahoo atau Bing,  dan selanjutnya dunia internet pada umumnya bisa kita kuasai sepenuhnya.
Pengelola situs online mungkin bisa belajar dialektika dan dinamika dalam dunia perbukuan. Ketika menanggapi munculnya gerakan Salafi yang kian hari semakin marak diperbincangkan dan dibahas, ada seorang “Syaikh Idahram”, dengan ujung penanya yang tajam menulis tiga buku yang berisi sejarah, penyimpangan, kekejaman, dan sebagainya yang dilakukan oleh kelompok Salafi-Wahabi. Buku trilogi sorotan sejarah dan gugatan untuk Wahabi, yang dibuat oleh Syaikh Idahram ini berjudul: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-KItab Karya Ulama Klasik, dan Ulama Sejagat Menggugat Salafi Wahabi. Buku trilogi Syaikh Idahram ini menjadi buku-buku “Best Seller” yang laku keras di tengah masyarakat muslim, alhamdulillah.
Mengapa buku-buku ini menjadi best seller dan sangat ramai diperbincangkan?
Pertama, selama ini umat Islam di Indonesia sangat dibingungkan dengan gerakan-gerakan yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok salafi, sehingga seolah-olah buku trilogi ini menjadi obat bagi umat yang merasa bingung dan merasa perlu kejelasan tentang kelompok salafi.
Kedua, mereka umat Islam dari kelompok salafi sendiri penasaran dengan kelompok yang diikutinya sehingga mereka penasaran pula dengan buku trilogi ini.
Ketiga, banyak orang yang merasa tertarik untuk membacanya dengan melihat judul ketiga buku trilogi ini yang memang menggunakan kata-kata yang sangat menarik, dramatis, atraktif dan faktual. Empat kata terakhir inilah yang mesti dipertimbangkan oleh kita yang ingin berdakwah secara online untuk merebut minat pembaca. Kesimpulannya adalah: jangan lagi hanya menggunakan dialektika penulisan standar jika tidak ingin dicuekin oleh masyarakat pembaca di jagad internet.

Siapa Sesungguhnya Salafi Wahabi?

Prof. Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam bukunya As-salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami yang penulis kutip dari salah satu bukunya Syaikh Idahram, mengatakan bahwa wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan berganti nama menjadi “salafi” karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan nama Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, yakni Muhammad ibnu abdul Wahab. Maka dari itu ada sebagian kaum yang menyebut mereka dengan sebutan Salaf Palsu atau Mutamaslif.
Ajaran mereka sebagian besarnya merujuk pada tokoh-tokoh yang memang kontroversial, seperti: Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab, Nashirudin al-Albani, Ibnu Utsaimin, Ibnu Baz, dan lain-lain baik dalam pendapat masalah akidah, manhaj, perilaku, maupun sikap. Sehingga dampaknya terhadap sesama mereka sendiri selalu terjadi perpecahan, permusuhan, kedengkian, saling mengkafirkan, dan saling menjatuhkan.
Dalam buku trilogi yang ditulis oleh Syaikh Idahram pada dasarnya sudah sangat jelas dan gamblang siapa sebenarnya gerakan Salafi-Wahabi itu. Bahkan referensi yang digunakan juga sangat lengkap dan sangat objektif. Idahram tidak saja menggunakan referensi dari buku-buku yang Kontra dengan Wahabi, bahkan dia juga menggunakan buku-buku yang Pro dengan Wahabi. Bahkan ada beberapa pendapat dari orang-orang mantan pengikut Wahabi.
Menanggapi kelompok Salafi-Wahabi dan gerakannya di Indonesia, kita harus lebih hati-hati dan lebih membentengi keyakinan keluarga kita masing-masing agar tidak mudah terpengaruh oleh rayuan dan ajakan yang terlihat dari luar mungkin menarik. Karena gerakan mereka terlihat sangat halus melalui penampilan mereka yang akhir-akhir ini terlihat sama dengan kita. Hal itu mereka lakukan karena memang  gerakan Wahabi di luar Indonesia dikenal sangat keras, dan kejam. Untuk mengelabui dan agar mudah diterima akhirnya mereka merubah strategi gerakannya dengan gerakan yang sangat halus, bahkan tak segan-segan merubah namanya menjadi Ahlussunnah Wal jamaah Salafiyah, yang pada dasarnya keyakinan dan ajaran mereka sama persis dengan ajaran Wahabi. Wallahu a’lam.

sumber : http://ummatipress.com/mencermati-dan-menjawab-gerakan-salafi-wahabi.html

Azab Bagi Wanita

(Tolong ingatkan kepada semua kaum perempuan yang anda kenal)

Saudara dan saudari kaum muslimin dan muslimat, Renungan
khususnya untuk para wanita

Sayidina Ali ra menceritakan suatu ketika melihat Rasulullah saw menangis mankala ia datang bersama Fatimah.

Lalu keduanya bertanya mengapa Rasulullah saw, mengapa beliau menangis. Beliau menjawab,
"Pada malam aku di-isra'- kan , aku melihat perempuan-perempuan yang sedang disiksa dengan berbagai siksaan. Itulah sebabnya mengapa aku menangis. Karena, menyaksikan mereka yang sangat berat dan mengerikan siksanya."
 
Putri Rasulullah saw kemudian menanyakan apa yang dilihat ayahandanya.
 
"Aku lihat ada perempuan digantung rambutnya, otaknya mendidih. 
Aku lihat perempuan digantung lidahnya, tangannya diikat ke belakang dan timah cair dituangkan ke dalam tengkoraknya."
Aku lihat perempuan tergantung kedua kakinya dengan terikat tangannya sampai ke ubun-ubunnya, diulurkan ular dan kalajengking. Dan aku lihat perempuan yang memakan badannya sendiri, di bawahnya dinyalakan api neraka. Serta aku lihat perempuan yang bermuka hitam, memakan tali perutnya sendiri."

"Aku lihat perempuan yang telinganya pekak dan matanya buta, dimasukkan ke dalam peti yang dibuat dari api neraka, otaknya keluar dari lubang hidung, badannya berbau busuk karena penyakit sopak dan kusta."

"Aku lihat perempuan yang badannya seperti himar, beribu-ribu kesengsaraan dihadapinya."

"Aku lihat perempuan yang rupanya seperti anjing, sedangkan api masuk melalui mulut dan keluar dari duburnya sementara malikat memukulnya dengan pentung dari api neraka," kata Nabi saw.
 
Fatimah Az-Zahra kemudian menanyakan :
"Mengapa mereka disiksa seperti itu?"
 
Rasulullah menjawab,  
"Wahai putriku,
Adapun mereka yang tergantung rambutnya hingga otaknya mendidih adalah wanita yang tidak menutup rambutnya sehingga terlihat oleh laki-laki yang bukan muhrimnya.

"Perempuan yang digantung susunya adalah istri yang 'mengotori' tempat tidurnya."

"Perempuan yang tergantung kedua kakinya ialah perempuan yang tidak taat kepada suaminya, ia keluar rumah tanpa izin suaminya, dan perempuan yang tidak mau mandi suci dari haid dan nifas."

"Perempuan yang memakan badannya sendiri ialah karena ia berhias untuk lelaki yang bukan muhrimnya dan suka mengumpat orang lain."

"Perempuan yang memotong badannya sendiri dengan gunting api neraka karena ia memperkenalkan dirinya kepada orang yang kepada orang lain bersolek dan berhias supaya kecantikannya dilihat laki-laki yang bukan muhrimnya."

"Perempuan yang diikat kedua kaki dan tangannya ke atas ubun-ubunnya diulurkan ular dan kalajengking padanya karena ia bisa shalat tapi tidak mengamalkannya dan tidak mau mandi junub."

"Perempuan yang kepalanya seperti babi dan badannya seperti himar ialah tukang umpat dan pendusta. Perempuan yang menyerupai anjing ialah perempuan yang suka memfitnah dan membenci suami."

Mendengar itu, Sayidina Ali dan Fatimah Az-Zahra pun turut menangis.

Dan inilah peringatan kepada kaum perempuan.
 
Sumber : http://ihsanbinmusahab.blogspot.com/2013/08/azab-bagi-wanita.html