Sabtu, 14 Desember 2013

Beberapa Pesan Untuk Suami

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq


4. BEBERAPA PESAN UNTUK SUAMI.
Setelah kami mengetengahkan sejumlah pesan untuk wanita, dan kami telah menyebutkan beberapa gambaran dari para wanita yang layak untuk diteladani, kemudian kami menyebutkan beberapa bentuk kesetiaan para wanita bersama para suami mereka, maka -supaya seimbang- kami akan berpesan kepada suami dengan sejumlah pesan penting untuk kehidupan mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum/30 : 21).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menilai isteri sebagai salah satu tanda kekuasaan-Nya. Yakni sebagaimana engkau menghormati ayat yang dibaca (al-Qur-an) seperti yang diperintahkan, engkau juga harus menghormati ayat (tanda) yang terlihat atau yang kasat mata sebagaimana yang diperintahkan. Karena hal itu akan membawa kepada pengesaan Pencipta, dalam hal mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Wahai suami yang tercinta dan saudara yang budiman! Jika engkau memperhatikan Kitabullah, maka engkau akan mendapati bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala menamai isteri dengan nama-nama yang mencengangkan layak untuk direnungkan.

Dia menamainya dalam Kitab-Nya dengan al-harts (ladang) melalui firman-Nya:

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ

“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam… ” [Al-Baqarah/2: 223].

Al-harts adalah tanaman yang ditanam oleh petani dengan cara: pertama-tama, memilih dengan baik tanah yang bagus untuk bisa menumbuhkan tanaman. Kemudian memilih dengan baik benih yang terbebas dari penyakit, kemudian memilih dengan baik penanamannya dan mengairinya secara berkala. Kemudian setelah itu menunggu buahnya, yaitu hasilnya. Buah yang dinanti dari isteri adalah anak-anak, belahan hati, amal shalihmu sesudah kematianmu jika engkau mendidiknya dengan sebaik-baiknya.

Allah menamakan isteri dengan pakaian melalui firman-Nya:

هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka...” [Al-Baqarah/2: 187].

Seperti diketahui bahwa di antara kegunaan pakaian adalah untuk memperindah penampilan dan menutup aurat. Engkau berhias dengannya dan dia berhias denganmu, engkau menutupi aurat (rahasia)nya dan dia menutupi auratmu.
Setelah itu sudaraku yang budiman, dan karena keutamaan isteri ini, aku ingin memberikan kepadamu sebagian nasihat. Mudah-mudahan nasihat ini bermanfaat bagimu jika engkau mengamalkannya.

Wasiat (Pesan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Para Isteri.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada para suami terhadap isteri-isteri mereka dalam banyak kesempatan, dan kita akan menyebutkan sebagiannya:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُؤْذِيْ جَارَهُ، وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari ِِAkhir, janganlah dia mengganggu tetangganya, dan perlakukanlah wanita dengan baik. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan sesungguhnya bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau bermaksud meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau membiarkannya, maka ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, perlakukanlah wanita dengan baik.”[1]

Wasiat ‘Umar bin al-Khaththab Kepada Seorang Badui.
Diriwayatkan bahwa seorang Badui datang untuk mengadu kepadanya mengenai buruknya akhlak isterinya. Ketika sampai di rumah ‘Umar dan mengetuk pintunya, dia mendengar isteri ‘Umar meninggikan suaranya di hadapannya, maka dia berpaling kembali sambil berkata dalam hatinya, “Celaka aku, jika demikian keadaan Amirul Mukminin, maka bagaimana halnya denganku?” ‘Umar keluar lalu melihat laki-laki Badui ini pergi, maka dia bertanya, “Ada apa denganmu?” Ia mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, hajatku telah selesai.” ‘Umar berkata kepadanya, “Kemarilah dan ceritakan kepadaku apa yang engkau inginkan.” Ia mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, aku datang untuk mengadukan kepadamu tentang buruknya akhlak isteriku. Tetapi aku melihat isterimu sama seperti isteriku, bahkan lebih, maka aku mengatakan, ‘Jika demikian keadaan Amirul Mukminin, maka bagaimana halnya denganku?’” ‘Umar berkata kepadanya, “Aku bersabar terhadapnya karena dia mempunyai hak-hak terhadapku. Dia merawat anak-anakku, memasakkan makananku, mencucikan pakaianku, membersihkan rumahku. Aku bersabar terhadapnya karena dia mempunyai hak-hak terhadapku.”

Wasiat Paman Kepada Keponakannya.
‘Utsman bin ‘Anbasah bin Abi Sufyan meminang kepada pamannya, ‘Utbah, untuk mempersunting puterinya. Maka pamannya mendudukkannya di sampingnya dan mengusap kepalanya, kemudian mengatakan, “Kerabat terdekat meminang kekasih yang tercinta. Aku tidak dapat menolaknya, dan aku tidak mempunyai alasan untuk tidak menerimanya. Aku menikahkan kalian berdua, dan engkau lebih mulia dibandingkan aku terhadapnya, padahal ia lebih melekat di hatiku daripada dirimu. Oleh karena itu mulia-kanlah, maka sebutanmu manis pada lisanku. Dan janganlah menghinakannya, maka harga dirimu menjadi hina di mataku. Aku telah mendekatkanmu bersama kerabatmu, maka jangan jauhkan hatiku dari hatimu.”

Kepada Setiap Suami.
Jangan terlalu lama meninggalkan isterimu. Ketahuilah, wahai saudaraku, bahwa bersanding dengan pengantin wanitamu dan berbincang-bincang dengannya bukanlah waktu yang sia-sia. Terutama jika perbincangan tersebut berjalan pada jalan yang dituju dan engkau berusaha di dalamnya untuk tujuan tertentu. Dengan demikian, engkau dapat memahami isterimu dan engkau memberikan pengertian kepadanya untuk bisa memahamimu. Pemahaman ini adalah langkah pertama untuk pergaulan yang baik. Betapa banyak kita melihat dalam kenyataan manusia, suami isteri telah berumah tangga selama puluhan tahun, tetapi masing-masing pihak tidak memahami pasangannya. Ini (akan) menjadi salah satu sebab permusuhan. Saudaraku, dengan duduk bersama isterimu dan berbincang-bincang dengannya, berarti engkau telah meluaskan ruang untukmu guna memahamkannya terhadap banyak pendapatmu yang mungkin tampak asing baginya pada permulaannya. Pembicaraan pertama tidak meninggalkan dampak yang diharapkan dan tidak merasakan hasilnya. Tetapi bila dilakukan secara berulang-ulang, memilih waktu yang cocok dan metode yang tepat untuk mengemukakan ide serta membuat contoh yang banyak, maka pasti akan meninggalkan pengaruh yang besar dalam diri manusia.[2]

Pasang di hadapan matamu apa yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Memanah dan menungganglah! Kalian mahir memanah lebih aku sukai daripada menunggang kuda. Segala sesuatu yang dimainkan seseorang adalah bathil, kecuali seseorang memanah dengan busurnya, melatih kudanya, dan bersenda gurau dengan isterinya. Sebab, semua itu merupakan kebenaran. Barangsiapa yang melupakan memanah setelah mempelajarinya, maka dia telah mengingkari ilmu yang diajarkan kepadanya.”[3]

Dari 'Atha' bin Abi Rabah, ia menuturkan: “Aku melihat Jabir bin ‘Abdillah dan Jabir bin ‘Umair -keduanya dari Anshar- sedang berlatih memanah. Ketika salah satu dari keduanya kelelahan, maka dia duduk, dan yang lainnya mengatakan, ‘Apakah engkau malas? Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Segala sesuatu selain berdzikir kepada Allah adalah senda gurau dan sia-sia (atau kelalaian) kecuali empat perkara: seseorang berjalan di antara dua tujuan, melatih kudanya, bermain-main dengan isterinya, dan belajar berenang.’”[4]

Benar, keluargamu mempunyai hak atasmu. Jadi, keluarga mempunyai hak, Allah mempunyai hak, dan jiwa mempunyai hak. Setiap muslim dituntut agar memberikan setiap yang berhak akan haknya. Menyeimbangkan di antara hak-hak ini adalah perkara yang diperintahkan, dan tidak ada yang mampu melakukannya kecuali orang-orang yang memahami. Menyia-nyiakan mengenai hal itu berarti menyia-nyiakan kehidupan secara keseluruhan.[5]

Bukan Termasuk Kejantanan (Rujulah).
Di antara hal yang perlu diperingatkan adalah perbuatan zhalim yang banyak dilakukan orang-orang yang tidak mempunyai sifat kemanusiaan dari kalangan orang yang hatinya keras, tabi’atnya keras, dan buruk pemahamanya, yaitu menzhalimi wanita dan memukul mereka seperti memukul unta liar. Tindakan ini dilakukan karena sebab yang remeh. Adakalanya mereka berselubung di balik izin Qur-ani untuk memukul. Sebagian mereka menyangka bahwa kejantanan itu identik dengan kezhaliman, pemaksaan serta kecongkakan. Sedangkan kepemimpinan adalah belenggu di leher wanita untuk menundukkannya. Isteri tidaklah seperti sapi atau barang perniagaan, jika telah membelinya maka pemiliknya bebas melakukan apa pun terhadapnya sesukanya, sebagaimana yang dikira oleh orang-orang yang zhalim tersebut. Wanita dalam hal ini mempunyai hak yang sempurna untuk mengadukannya kepada walinya. Memperlakukan isteri dengan baik bukanlah perkara pilihan yang dibiarkan untuk suami; dia dapat melakukannya atau tidak melakukannya, tapi ini merupakan tugas yang wajib.

Apakah orang-orang yang hatinya keras tidak memperhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ

“Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi.” [Fajr: 14].

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنِّيْ أُحَرِّجُ عَلَيْكُمْ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ: اَلْيَتِيْمُ وَالْمَرْأَةُ.

“Sesungguhnya aku mengkhawatirkan atas kalian akan hak dua pihak yang lemah; anak yatim dan wanita.”[6]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اَلنِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ.

“Kaum wanita adalah saudara kaum lelaki.”[7]

Pesan Kepada Suami Dan Peringatan Untuknya Supaya Tidak Durhaka Kepada Kedua Orang Tua Setelah Menikah.
Dr. Muhammad ash-Shabbagh hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya apa yang diberikan oleh kedua orang tuamu berupa pemuliaan, bantuan, dan kebaikan kepadamu, wajib engkau balas setimpal dengan pengakuan dan memberinya kecukupan. Sesung-guhnya mereka berdua telah memelihara dan melayanimu saat engkau lemah tidak dapat mengurus dirimu sendiri, memberi nafkah kepadamu, mengalah demi dirimu, tidak tidur karena mengurusmu, dan rela keletihan agar engkau merasa nyaman. Tidakkah patut bagimu, jika engkau memang orang yang baik dan mempunyai kesetiaan, untuk membalas hal itu dengan pengakuan dan kebaikan? (Bukankah balasan kebaikan melainkan kebaikan juga)?

Ibu harus lebih didahulukan dalam berbakti karena kelemahannya. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar berbakti kepada ibu beberapa kali sebelum kepada bapak. Di antara hal yang dapat mendorongmu untuk merealisasikan baktimu tersebut dalam kehidupanmu ialah engkau meletakkan dirimu dalam posisi ayah dan ibumu. Apakah engkau senang nantinya ketika engkau sudah tua, tulang melemah dan kepalamu beruban, engkau mendapatkan dari anakmu perlakuan yang buruk, disia-siakan yang menjengkelkan, dan di-hinakan yang melukai perasaan?

Ketahuilah wahai saudaraku yang mulia, bahwa perangai kedua orang tua dan perangaimu pun berubah setelah pernikahan. Keduanya secara umum menjadi sangat peka. Ibu jauh lebih peka daripada ayah. Oleh kerena itu, berhati-hatilah. Berusahalah semampumu agar hati ibu tidak berubah terhadapmu.

Ada beberapa hal yang dapat membantumu merealisasikan apa yang engkau inginkan berupa memperhatikan kedua orang tua sekaligus isteri:

a. Engkau berlindung kepada Allah dan memperbaiki komunikasimu dengan-Nya dalam bentuk ibadah, do’a, dan komitmen dengan apa yang disyari’atkan-Nya.

b. Engkau bertempat tinggal secara mandiri, terpisah dari keluargamu (orang tuamu) dan keluarga isterimu, serta tidak melibatkan seorang pun dari keluarga kalian berdua ke dalam problem kalian yang khusus, dan kalian berdua berkeinginan untuk memecahkan problem di antara kalian dengan jiwa kasih sayang.

c. Engkau menjelaskan kepada kedua orang tuamu disertai penghormatan yang mendalam tentang suasana baru yang engkau hadapi, dan juga menjelaskan kepada mereka tentang realitas sebenarnya yang jauh dari interpretasi, yang kadang-kala syaitan memasukkan waswas dengannya kepada manusia untuk menimpakan ketidakharmonisan di antara keluarga dengan orang-orang yang dicintai.

d. Engkau semakin berbakti kepada keduanya, baik secara materi maupun moral, seperti memberi hadiah, berkunjung, senantiasa berkomunikasi, memuliakan, dan membuat ibu merasa bahwa dia tetap sebagai ibumu yang memiliki hak yang besar.

e. Memberi pemahaman terhadap isteri mengenai perilaku yang mewujudkan keridhaan kedua orang tua.[9]

Wasiat Untuk Suami Yang Isterinya Tidak Menunaikan Shalat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ditanya tentang orang yang mempunyai isteri yang tidak menunaikan shalat, apakah dia harus memerintahkan shalat kepadanya? Jika tetap tidak mengerjakan, apakah dia harus menceraikannya ataukah tidak?

Jawaban: Ya, dia harus memerintahkan shalat kepadanya dan dia wajib memerintahkannya. Bahkan dia wajib memerintahkan demikian kepada setiap orang yang dia mampu memerintahkannya, jika tidak ada orang selainnya yang melakukan demikian.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya… ” [Thaahaa: 132].

Dia berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu… ” [Tahriim/66: 6).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلِّمُوْهُمْ وَأَدِّبُوْهُمْ.

“Ajarkan kepada mereka dan hukumlah mereka.”

Bersamaan dengan perintah tersebut, ada keharusan untuk menganjurkan agar melakukan hal itu dengan kesadarannya, sebagaimana menganjurkannya atas apa yang dibutuhkannya. Jika dia tetap meninggalkan shalat, maka dia harus menceraikannya. Dan itu wajib menurut pendapat yang benar. Orang yang meninggal-kan shalat berhak mendapatkan hukuman sampai dia melaksanakan shalat, menurut kesepakatan kaum muslimin. Bahkan jika seseorang tidak shalat, maka dia harus dibunuh. Dia dibunuh karena kafir lagi murtad. Berdasarkan dua pendapat yang masyhur. Wallaahu a’lam.[10]

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq. Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penerjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir - Bogor]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 3331) kitab Ahaadiitsul Anbiyaa’ (dan no. 5185, 5186) kitab an-Nikaah, bab al-Washaati bin Nisaa’.-ed.) Muslim (no. 47), kitab al-Iimaan.
[2]. ‘Audatul Hijaab (II/383).
[3]. HR. Muslim (no. 1919) kitab al-‘Imaarah, an-Nasa-i (no. 3146) kitab al-Jihaad, Ahmad (no. 16849) dan lafazh ini baginya.
[4]. As-Silsilah ash-Shahiihah (no. 315).
[5]. ‘Audatul Hijaab (II/385).
[6]. HR. Ibnu Majah (no. 3678) kitab al-Adab, Ahmad (no. 9374), Ibnu Hibban (no. 1266), al-Hakim (I/63). Ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahiihah (no. 1015).
[7]. HR. At-Tirmidzi (no. 163) kitab ath-Thahaarah, Ahmad (no. 25663), dan di-shahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (II/281). Dan lihat ‘Audatul Hijaab (II/467).
[8]. ‘Audatul Hijaab (II/509) dan dinisbatkan kepada Nazharaat fil Usratil Muslimah (hal. 102-103).
[9]. ‘Audatul Hijaab (II/512) dan dinisbatkan kepada buku Nazharaat fil Usratil Muslimah (hal. 103-104).
[10]. Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/276-277).
Sumber : http://almanhaj.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar