Untuk
pembahasan ini perlu rasanya dijelaskan istilah dan pengertian
sekedarnya, meskipun penjelasan penjelasan yang ada sebenarnya sudah
cukup memadai .
Alam
yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah sesuatu yang lain daripada
Allah, yang diadakan atau yang diciptakan, umumnya juga dikatakan dengan
“aghyar”. Jadi jelas sekali bahwa “alam” bukanlah Zat Allah.
Dari sinilah sebenarnya patokan kita untuk memahami setiap masalah yang menyangkut Tasawuf yang membicarakan tentang Ketuhanan.
Didalam pembahasan ini ada kata kata sebagai berikut :
-
Alam Nuskhatul Haqqi = Alam adalah naskah Tuhan
-
Alam Cermin Tuhan = Dalam istilah Alam Mir’atul Haqqi.
-
Alam Mazhar Wujudullah = Alam,pembuktian ujud Allah.
-
Alam Ainul Haqqi = Alam adalah kenyataan Tuhan.
Kata-kata
yang seperti ini tidak bisa hanya dilihat dan dibaca menurut bunyi
kata-kata itu semata-mata (leterjik), sehingga aosiasi tertuju kepada
arti dari kat-kata. Kata-kata dan ungkapan dari kalangan Sufi pada
umumnya adalah berupa rumus-rumus, gambaran-gambran sebagai pelampiasan
kata hati dan perasaan.
Sebagimana
kita maklum, bahwa kata-kata adalah suatu alat komunikasi antara satu
pihak dengan pihak yang lainsehingga terjadi hubungan pengertian dari
kedua belah pihak.
Dapat
pula dimengerti, bahwa kata-kata itu sendiri dapat pula menimbulkan
perkiraan yang salah terhadap mereka yang melahirkan kata-kata itu.
Akan
tetapi bila kita kembali kepada suatu ungkapan bahwa kata-kta hanyalah
sekedar isyarat dan gambaran belaka, lebih lagi bila kata-kata itu ada
hubungannya dengan perasaan, maka seharusnya tidaklah perlu ada
prasangka buruk (negatif) terhadap mereka yang melahirkan kata-kata dan
ucapan itu.
Lebih ngeri lagi kalau kita bandingkan dngan sebuah sabda Rasulullah s.a.w.
” Khalaqa Aadama Kashuuratihi “
Artinya : Allah Ciptakan Adam seperti rupaNya
Kata-kata
demikian ini sukar untuk menolaknya, lebih bila di ingat datang dari
lidah Rasullah sendiri yang di riwayatkan oleh Imam Hadist terkenal
ketelitiannya dalam merawih hadist.
Sabda
Rasulullah itu tetap akan kita terima dan kita yakini, namun pasti ada
pengertian yang lebih mendalam dibalik Lafaz dan kata-kata tersebut.
Begitu pula Hadist Rasulullah berupa Hadist Kudsi yang mana Allah berfirman :
” Aku jadi penglihatannya, Aku jadi kakinya, Tangannya dan seterusnya dan sebagainya “
Alangkah hebatnya kata-kata itu.
Adakah yang bertanya dan membantah?
Kenapa Allah mau jadi tangan dan kaki hamba?
Dan kenapa jadi begitu?
Tidak ada tanya dan bantah.
Masya Allah hebat sekali.
Kalau
demikian,apakah salahnya Ahlul Arifin Billah melahirkan kata-kata
gambaran diatas? Kalau mereka nyata-nyata tenggelam dalam lautan “rasa”
akhirnya mereka tidak dapat berkata, bingung, nanar, dan sasar, apakah
ini harus dipersalahkan pula?
Apabila
mereka berkata tak dapat lagi membedakan antra hamba dengan Tuhan,
apakah tepat bila kita secara langsung menuduh mereka ” mempersamakan
hamba dengan Tuhan?”
Tuduhan demikian adalah keliru.
Apakah
sebabnya? Jawabnya mudah saja. Tidak ada seorang hambapun yang
dahulunya dapat membedakan antara hamba dengan Tuhan kecuali asalnya
Allah sendiri. Para Rasulpun tidak. Para Rasul hanya menyampaikan
apa-apa yang di firmankan Allah kepada mereka.
Tidak ada seorang manusiapun tadinya yang mengetahui bahwa Allah itu hidup dan sebagainya, semua itu adalah pemberitahuan Allah.
Setelah
Allah memberi tahu semua itu melewati Para Rasul dan Nabi, barulah
manusia ini tahu keadaan Allah s.w.t. dan barulah manusia dapat
membedakan antara hamba dengan Tuhan.
Karena
pembicaraan ini menyangkut masalah Hakekat dan yang sebenar benarnya,
maka pantas kalau mereka berkata dengan kata-kata tersebut itu.
Oleh
sebab itu, maka diharapkan jangn sampai ada tuduhan yang mengerikan
kepada mereka (Arif Billah) yang hanya dengan kata-kata nuskhatul haqqi,
ainul haqqi, atau mir’atul haqqi lalu langsung menuduh mereka berfaham
sesat atau dengan lain perkataan berupa gelar-gelar yang cukup
menyinggung perasaan, malah hanya membawa perpecahan dan pemisahan yang
tajam di dalam Ummat Islam sendiri.
Untuk
menjaga kemurnian dan kelanggengan ajaran Islam memang seharusnya kita
berusaha mempertahankan kebenaran Islam. Menolak ajaran yang nyata
kekafirannya, nyata pula kesesatannya, penolakan ini tergantung dengan
kekuatan Da’wah sampai dimana kita bisa memikat dengan mengemukakan cara
berfikir yang benar dan sehat sebagai yang diajarkan oleh Allah sendiri
:
” Ud’u Ila Sabiili Rabbika Bil Hiikmati Wal Mau Iazhotil Haasanati Wajaadilhum Billatii Hia Aahsanu “
Arinya :
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik dan bantalah keterangan mereka dengan cara yang baik.
Metoda
yang demikian saya kira tidaklah berarti merusakkan kerukunan beragama
dalam Negar Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Mengembalikan Tasawuf kepangkalnya, sebagaimana anjuran Buya Prof. Dr. Hamka
pada pidato Dies Natalis PTAIN di Jogjakata tahun 1959 merupakan suatu
anjuran yang beralasan, mengingat banyaknya gerakan kebatinan yang
tumbuh laksana cendawan di musim hujan, tidak sedikit diantaranya yang
lepas dari dasar-dasar Iman sepanjang ajaran Islam.
Saya
beranggapan dan berharap bahwa dengan penyempurnaan Tulisan ini, kita
kaum Muslimin yang berpegang teguh pendirian Ahlus-Sunnah Wal Jamaah
masih tetap mempunyai kekuatan dan senjata ampuh ialah “Doa” dan harap
kepada Allah s.w.t. agar tetap memelihara keagungan Agama Islam
dimanapun juga serta memelihara Agama Islam dan Kaum Muslimin dari
segala cobaan-cobaan.
Kita
tetap menginginkan peratun bangsa dan keutuhan Negara Republik
Indonesia yang kita intai ini sesuai engan azas Pancasila, dengan adanya
suatu jaminan untuk tidak membiarkan tumbuhnya bermacam-macam
kepercayaan dan iktikad yang memanggil-manggil orang-orang Muslim agar
mengikuti ajaran mereka, dimana akhirnya selembar demi selembar
daun-daun Muslim beterbangan dari pohonnya.
Berpanjang
kata tentang salah ini, hnya dengan suatu maksud agar Kaum Muslimin dan
Ulama Islam yang ada kini, tidak begitu mudah melontarkan kata-kata,
mengucilkan sesama umat yang bernabikan Muhammad s.a.w. dan berkitab
sucikan Al Qur’an, umat yang masih percaya kepada hari kebangkitan,
karena dengan demikian akan menghancurkan barisan Umat Islam sendiri
pada akhirnya.
-
Pengertian Kalimat “Nuskhatul Haqqi”
Sebagaimana
dijelaskan pada bagian muka naskah ketuhanan, karena alam ini adalah
laksana naskah atau kitab yang semuanya dapat dibaca dan dipelajari
untuk mencari kebenaran hakiki ialah Allah s.w.t.
Allah
banyak sekali berfirman dan berseru kepada manusia yang berakal agar
membaca dan mempelajarinya, karena apapun yang terpampang dipermukaan
alam ini adalah “ayat-ayat” yang harus difikirkan, Kumpulan ayat-ayat
itu dapat pula dikatakan suatu naskah atau kitab.
Ibnu
Athoillah r.a mengungkapkan dalam rangka membaca semua ini, janganlah
laksana seekor sapi yang bekerja menggiling padi di penggilingan, karena
bagaimanapun tidak akan sampai kepada titik tujuan yang sebenarnya.
Seorang
manusia berfikir : Hidup perlu Kerja, Kerja perlu Makan, Makan untuk
tambah Tenaga, Tenaga untuk dapat Kerja, Kerja Untuk Makan dan
seterusnya… dan seterusnya… Atau saling menyalahkan dan membenarkan
pendapat sendiri.. ini benar itu salah.. hadist ini doif itu shahih..
demikian seterusnya tidak berujung.. Akhirnya hanya laksana bulatan
(sirkel) yang terus menerus berputar dalam lingkaran itu saja, tidak
bedanya dengan se ekor sapi di penggilingan padi.
Kapan
waktunya dia mencari kebenaran hakiki? Kalau dia tetap disibukkan dalam
suatu sirkulasi demikian, kenapa dia tidak mau membaca naskah berupa
dirinya dalam alam ini?.
Apabila
seseorang mau menggunakan waktu untuk membaca naskah dirinya dan alam
ini, dia pasti akan sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, akan
dapat mengenal dengan pengenalan sempurna kepada Maha Pencipta Naskah
yang berupa dirinya dan Alam.
Maka misal dan ungkapan bahwa alam ini adalah Naskah Ketuhanan sebenarnya dapat kita terima.
-
Pengertian kata “Cermin Tuhan”
Pada
umumnya kita menyebut kata-kata cermin hanyalah dalam arti kata
pinjaman. Untuk mengenal keadaan tubuh kita, sudah rapi atau belum, apa
dan bagaimana rupa dan bentuk mata, sipit ataukah tidak, kita ingin tahu
lidah atau gigi, hal mana tidak dapat dilihat langsung oleh mata,
umumnya semua itu kita pergunakan cermin.
Tetapi mata yang terlihat dalam cermin, gigi dan lidah hanyalah sekedar bayangan, bukan keadaan yang sebenarnya.
Tiap-tiap yang bernama bayangan tidak mungkin dapat dipegang, kita hanya menemukan suatu permukaan yang rata dari kaca cermin.
Alam
adalah Cermin Tuhan, karena “diri” atau Kunhi Zat (keadaan Diri) Allah
s.w.t. tidak bisa dilihat oleh mata kepala ini. Yang dapat dilihat
dengan mata kepala hanyalah Alam dan segala peristiwa yang terjadi di
dalam Alam.
Alam
ini dapat dimisalkan Cermin Tuhan untuk setidak tidaknya dapat melihat
“bayangan Tuhan di dalam cermin” namun apa yang terpampang di dalam
cermin bukanlah dia Tuhan yang kita cari.
Maha sucilah Allah dari pada mempunyai bayangan.
Menurut
ungkapan dikalangan Sufi, alam ini adalah dua macam. Pertama Alam Kabir
dan kedua Alam Shoghir. Alam Kabir atau alam besar ialah alam semesta
ini, sedangkan Alam Shoghir atau alam kecil adalah diri manusia ini
sendiri.
Kalangan
Ahli Filsafat menyebutkan Mikro Kosmos (kecil) dan Makro Kosmos (besar)
Alam kecil ini adalah sebagai bayangan Alam Besar karena hampir seluruh
macam dan jenis Alam Besar tergambar dan terbayang pada diri manusia.
Tanah,
Air, Api dan Udara merupakan unsur-unsur yang ada pada alam besar yang
smuanya terbayang pada diri manusia, tumbuh-tumbuhan, dan binatang,
langit an bumi juga ada bayangannya dan gambarannya pada diri manusia
kita ini. Tetapi yang jelas, diri manusia bukanlah alam semesta dan alam
semesta bukanlah diri manusia. Ungkapan akal ini boleh dan dapat
diterima menurut pendapat akal sehat.
Diri
manusia dikatakan oleh Allah adalah KhalifahNya di muka bumi, yang
menurut arti bahasa adalah ” PenggantiNya” di muka bumi ini. Tapi
haruslah di ingat bahwa manusia bukanlah Tuhan di muka Bumi.
” Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu”
Artinya :
” Siapa yang mengenal dirinya, pasti dia dapat mengenal TuhanNya”
Hadist Rasulullah ini sebagai patokan dasar makrifat kepada Allah s.w.t.
Dari ungkapan ini kita dapat merumuskan dengan suatu rangkain.
Insan – Alam – Tuhan.
Insan
adalah bayangan dan cermin Alam, Alam juga merupakan bayangan dan
cermin Tuhan. Tetapi Insan dan Alam adalah “Maujud” (diadakan) sedang
Allah adalah Zat Wajibul Wujud.
Insan
dan Alam yang kita lihat bukanlah rupa dan bentuknya, tetapi kita
melihat “adanya” Adanya Insan dan Alam adalah “fana” didalam lautan
Wujudullah.
Adanya Insan dan Alam hanyalah sekedar “majas” semata.
“Wujud yang Hak adalah Wujud Allah”
Akhirnya nyatalah dan kita dapat menerima ungkapan kata Alam Adalah Cermin Tuhan.
-
Pengertian kata “Ainul Hak” (kenyataan Tuhan)
Insan
“ainul Hakki atau alam Ainul Hakki” kata-kata inilah yang menghebohkan,
sehingga timbul tuduhan buruk kepada mereka. Sepanjang kita kaji, tidak
ada yang berkata misalnya “al insan Huwallah” atau “Al alam Huwallah”
(manusia atau alam itu Allah) atau kata-kata “Insan atau alam sama
dengan Allah” tidak ada kata-kata demikian yang lahir dari mulut Sufi
yang benar.
Kalimat atau kata-kata yang nyata dari mereka ialah “Insan / Alam Ainul Hakki”
Ibnu Araby berkata :
” Al Abdu Rabbun, Warrabbu Abdun.
Ya Laita Syi’ri, Manil Mukallaf ?
Ya Laita Syi’ri, Manil Mukallaf ?
In Qulta – Abdun Fadzaka Rabbun.
Aw Qulta Rabbun – Anna Yukallaf ? “
Artinya :
”
Hamba Adalah Tuhan, Tuhan Adalah Hamba, betapa syu’urku. Siapakah yang
dibebani?, kalau anda berkata Hamba, maka itulah Tuhan, atau anda Tuhan,
betapakah dia dibebani? “
Maka
rangkuman kata dari Ibnu Araby ini merupakan sajak/puisi. Puisi suatu
ungkapan kata menggambarkan cetusan perasaan seorang pengarang. Diterima
atau tidak oleh orang lain bukanlah soal yang penting, namun ia merasa
puas dengan apa yang ia ungkapkan dalam bentuk puisi ini, yang
mengambarkan kebingungannya sendiri (tahayyur)
Oleh
sajak itu terlihat jelas tentang rasa bingungnya, apa dan bagaimana.
Biarkanlah dia tenggelam dalam kebingunngan demikian, itu adalah
urusannya sendiri.
Ibnu
Araby r.a. sebagai seorang Sufi besar pada zamannya, tercatat sebagai
seorang yang taat melaksanakan perintah agama, seorang ahli syariat,
seorang yang sangat ahli dalam Alquran dan Hadist, apakah kita harus
menuduhnya sebagai seorang yang kafir? Sedangkan rangkuman sajaknya
adalah perasaannya, getaran hatinya sendiri, bukankah dia tidak ingin
melibatkan orang lain dalam cetusan perasaannya itu?
Kalau Ibnu Araby r.a berada di zaman ini mungkin kita akan berkata padanya :
” Silahkan tuan dengan serba bingung,
Tuan puas dengan merenung,
Aku diam seribu bahasa,
Kelu lidahku tiada kata,
Engkau adalah engkau,
Aku adalah aku,
Aku dan engkau datang dari satu rumpun,
Kesanalah kita kembali. “
Kesimpulan
adalah, kata-kata “Alam ainul Hakki” atau “alam Mazhhar wujudullah”
adalah dua kalimat yang sama maksud dan tujuannya.
-
Allah bertahwil (berubah keadaan) dalam segala rupa.
Salah
seorang guru saya membuka masalah ini dengan kata-kata ” tidak mustahil
bagi Allah mewujudkan sifatNya dalam rupa mahkluk, tetapi mustahil
mahkluk sama dengan Allah “.
Zat
dan sifat Allah tidak pernah dan tidak kan berubah-rubah. Namun
bertahwilnya Allah s.w.t. adalah urusan Allah sendiri dan kehendaknya
sendiri.
” Maa Sya’allahu Kaana Wamaa Lam Yasya’ Lam Yakun”
Artinya :
” Apa saja yang Allah kehendaki jadi, dan apa saja yang tidak dikehendaki Allah tak akan jadi “.
Mungkin
kata “Tahwil” ini yang diartikan oleh Buya Hamka dengan kata “jelma”
dalam tulisan beliau yang menyangkut faham Ibnu Araby, halaman 146
Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya.
Andai
kata Allah itu bertahwil pada segala rupa dan keadaan sebagaimana akan
terjadi di hari Kiamat, kemudian kita tidak mengkuinya sebagai Tuhan
dengan ucapan ” A’udzubillahi Minka” (Aku berlindung kepada Allah dari
pada engkau) maka hal tersebut tidaklah dipersalahkan. Yang tidak
diterima itu adalah “rupa dan bentuknya” bukan ain wujudnya.
“Dunia sebagai sesuatu ” sedikit dari yang sedikit, orang yang mengasyikinya adalah hina dari segala hina “
Yang
paling ramai dibicarakan golongan Sufi adalah masalah dunia dan sikap
hidup terhadapnya. Hampir semufakat mereka untuk menolak dunia dan
keduniaan ini dengan bermacam-macam cara dan laku, dengan riyadhoh dan
latihan, uzlah dan zuhud, berhaus berlapar perut, bertongkat mata
diwaktu malam.
Apabila
kita bertanya kepada mereka “kenapa anda berbuat emikian,
berpayah-payah berlemas badan, cekung mata karena begadang, kapan lagi
anda berjuang ?. Mereka menjawab dengan pandangan mata lurus kedepan
“inilah namanya perjuangan payah kami ini, namun segar nyaman pasti
mendatang – Inna ma’al usri yusran – dibalik kepayahan mengiringi
kesenangan, lapar kami hari ini, besok kami akan kenyang, cekung mata
hari ini, besok ia bertambah terang dan cemerlang, biarlah kami… biarlah
kami..
Menurut
adat dan kebiasaan, dipandang dari segi lahir dan kenyataan, bagaimana
nanti nasib umat jika mereka terus menerus demikian. Mana lagi orang
berzakat, mana lagi kegiatan membangun masjid, mana lagi perjuangan, dan
bermacam tanya yang diajukan.
Ada
yang mencela sikap mereka, dianggap hanya mengurus dirinya sendiri
tidak lagi menghiraukan perjuangan dan kepentingan masyarakat banyak.
Namun mereka tetap begitu dan terus begitu.
Tapi
ada yang ganjil dan istimewanya. Sepatah kata dari mereka yang keluar
dari mulut mereka untuk membangun jiwa ummat, ternyata lebih berharga
dari seribu ucapan dan pidato seribu pejabat negeri.
Terdengar
kabar dan berita, raja dan menteri datang bersujud dan sungkem kepada
mereka memohon restu dan doa, apa katanya takut dilanggar, apa
nasehatnya disimak dan didengar. Ini suatu kenyataan.
Betapa pengaruhnya ucapan dan kata panggilan Yang Mulia Tuan Guru H.Anang ‘Ilmi Martapura
terhadap gerombolan Ibnu Hajar, sewaktu beliau hidup, tanyakanlah
kepada bekas pengikutnya Ibnu Hajar yang masih ada sekarang ini.
Sebelum
ada panggilan Tuan Guru, beribu kata dan himbauan, ratusan motir dan
ribuan peluru yang dilepaskan, mereka tetap bertahan, Si Tuan Guru yang
sederhana itu, berdoa dengan khusuk kepada Allah agar mereka kembali ke
pangkuan Ibu Pertiwi, Doa Yang Mulia Tuan Guru berhasil, kesatuan
gerombolan datang berbondong-bondong kembali kekampung halaman dan
keluarga.
Tapi
sayang sungguh sayang. Masih ada yang mencemoohkan, apalah artinya
panggilan dari seorang sederhana demikian, memanggil dan berdoa tidak
menghabiskan sepiring nasi, yang berhasil itu hanyalah usaha lahir jua.
Sekarang
timbul pertanyaan pada diri, apakah harus mengikuti jejak mereka dengan
cara dan latihan yang demikian beratnya – namun besar manfaatnya –
ataukah ada suatu sistem lain dengan tidak meninggalkan prinsip bahwa
kehidupan akhirat jauh lebih berharga dari pada kehidupan dunia ?
Untuk
menjawab pertanyaan itu, kita hendak melihat dahulu ciri-ciri khas ”
hidup keduniaan ” dan ciri-ciri khas ” hidup keakhiratan atau
kemalaikatan “. Laksana tanda tanda lalu lintas mana tanda yang harus
kekanan, mana pula tanda yang harus kekiri, mana tanda boleh parkir
kendaraan dan mana yang tidak.
Sesuai
dengan ajaan Rasulullah, bahwa selama hidup di dunia, banyak
tuntutannya untuk dapat menerapkan kehidupan keakhiratan, bahkan pernah
beliau berpesan kepada dua sahabat beliau tersayang ( S. Umar dan S. Ali
r.anhuma) agar kelak menemui seorang yang bernama Uwais Al-Qarni, seorang yang diberi gelar oleh Rasulullah, seorang manusia penduduk langit.
Arti pesan itu jelaslah bahwa ada jalan menempuh ” hidup keakhiratan ” selagi masih hidup dan di permukaan bumi ini.
Hidup
keakhiratan yang kita maksudkan dapat pula disebutkan ” kehidupan alam
malakut ” yang dengan sendirinya memperhatikan bagaimana hidupnya para
malaikat.
-
Ciri-ciri khas hidup keakhiratan/alam malakut.
-
Selalu zikir, tasbih, tahmid dan takbir.
-
Selalu taat terhadap perintah Allah.
-
Tidak pernah makan dan minum.
-
Tidak berumah tangga.
-
Tidak pernah sakit atau berobat.
-
Tidak pernah sibuk/disibukkan mencari dan mengeluarkan biaya hidup.
-
Tidak pernah tidur dan beristirahat.
-
Menyampaikan petunjuk-petunjuk Allah untuk manusia.
-
Dan lain-lain yang bersifat kerohanian.
-
Ciri-ciri khas hidup keduniaan.
-
Sibuk mancari dan mengeluarkan biaya hidup.
-
Mementingkan dan mengutamakan kepentingan perut, pakaian dan perumahan.
-
Sibuk dengan kepentingan jasani.
-
Sibuk dengan urusan rumah tangga atau masyarakat yang semata-mata duniawi.
-
Lebih mementingkan diri pribadi.
-
Berusaha sekuatnya mempertahankan hidup.
-
Memerlukan waktu istrahat dan tidur.
-
Sering menunjukkan permusuhan.
-
Dan lain-lain yang bersifat jasmaniah serupa hayawaniah.
Sementara kalangan filsafat menyatakan pendapatnya, bahwa manusia ini adalah ” hayawanun – nathiq “ (binatang yang mampu berbicara dan berakal)
Manusia menghimpun dua unsur yang berlawanan, yaitu unsur malakiyah (kemalaikatan) dan Hayawaniah (kebinatangan) atau juga disebut unsur samawi (langit) dan unsur ardli (bumi).
Kedua
unsur ini ada pada diri manusia saling tarik menarik siapa yang menang
dalam pergulatan itu, maka di sanalah manusia ini akhirnya. Apabila dia
tertarik oleh unsur malakiyah atau samawi maka beruntunglah manusia itu.
Tetapi sebaliknya bila tarikan unsur hayawani atau ardli lebih kuat,
maka rugilah manusia itu.
Maka
untuk menjawab pertanyaan diatas, ambillah contoh Nabi Sulaiman a.s.
yang kaya raya tapi tidak tersangkut hati dengan kekayaan, hatinya
bener-benar rumah Allah, selalu dzikir dan puji kepada Allah, kekayaan
dan harta bukan tempatnya dihati.
Ambillah
pula contoh Nabi Yusuf a.s. berpangkat dan rebutan wanita, Tanda
pangkat hanya sekeping perak atau tembaga atau sekedar emas sepuhan,
bukan letaknya di hati, tetapi terletak di bahu kanan atau kiri, bisa
dilepas bisa di pasang, tidak pula beliau tersangkut hati pada wanita
dalam hatinya, karena hati ini mutlak sepenuhnya tempat zikir kepada
Allah.
Inilah
jawaban atas pertanyaan diatas, suatu cara yang mudah, hati dan roh
adalah unsur langit, janganlah dia dijatuhkan ke bumi menjadi makanan
binatang, cara ini adalah cara yang selamat. Ikutilah ajaran Allah dan
Rasul dan ikutilah jejak Arif Billah, sediakan hati sepenuhnya untuk
Allah, karena allah dengan Allah dan dari pada Allah.Sumber : http://annafiz.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar