“Berani-beraninya ‘wahabi’ ini
membid’ah-bid’ahkan amalan ‘aswaja’! Emang duluan mana antara ‘wahabi’
dengan ‘aswaja?” Demikianlah kira-kira ucapan sebagian orang yang
mengklaim sebagai penganut ‘aswaja’ kala mendapati para da’i yang tengah
meluruskan berbagai amalan bid’ah di tengah masyarakat.
Aswaja dan Wahabi. Itulah dua istilah
yang belakangan ini begitu mengemuka dalam kancah dinamika dakwah tanah
air. Kedua istilah tersebut kerap menimbulkan salah persepsi dari
berbagai kalangan dalam memahami ajaran Islam yang sebenarnya.
Term Aswaja dipopulerkan oleh organisasi
nahdlatul ulama (NU) untuk melegitimasi paham dan amalan-amalan yang
menjadi ciri khas mereka. Alhasil banyak masyarakat Muslim tanah air
memahami ‘aswaja’ sebagai suatu aliran keberagamaan yang memiliki
ciri-ciri dalam akidah dan amaliah sebagaimana diyakini dan diamalkan
warga nahdliyin seperti: berakidah asy’ariyah-maturidiyah, mengamalkan
tashawuf, sinkretisasi ajaran Islam dengan kultur warisan Hindu-Budha,
membuka kreasi dan modifikasi beragama seluas-luasnya atas dalih bid’ah
hasanah, bertawasul lewat perantara arwah para wali, ngalap berkah ke
kuburan, serta mengultuskan kyai sedemikian rupa.
Dengan demikian, jika kita mau jujur maka
akan tersingkaplah hakikat ‘aswaja’ sesungguhnya yang ternyata akar
dari aliran tersebut bukanlah Islam sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW
kepada para sahabatnya, melainkan satu paham baru yang merupakan
perpaduan dari berbagai sekte dan pemikiran.
Lantas Siapa yang Disebut ‘Wahabi’?
Agaknya tak berlebihan bila dikatakan
bahwa kaum ‘wahabiyin’ merupakan kelompok yang paling sering mendapat
serangan frontal dari aswaja lewat sejumlah stigma horor. Menurut kyai
aswaja, ‘wahabi’ selalu diidentikkan dengan satu pemahaman Islam yang
radikal, intoleran serta membenarkan tindak terorisme. Benarkah stigma
tersebut?
Sebelumnya, penting buat diketahui bahwa
yang disebut aliran wahabiyah sesungguhnya adalah sebuah sekte yang
didirikan oleh Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang meninggal
tahun 211 H. Sekte wahabiyah itu sendiri merupakan salah satu cabang
dari firqoh Khawarij. Oleh karena itu, jika yang dimaksud wahabi adalah
pengikut dari Abdul Wahab Rustum kita tentu menyepakati kesesatannya.
Akan tetapi yang dimaksud ‘wahabi’ oleh
‘aswaja’ bukanlah penganut sekte bikinan Abdul Wahab Rustum ini,
melainkan siapa saja yang sejalan dengan dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab. Untuk itulah sejumlah propaganda yang bertujuan
mendiskreditkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berikut dakwah tauhid
yang ditegakkannya dilancarkan oleh para kyai ‘aswaja’.
Maka perlu diluruskan, tuduhan bahwa
cikal bakal terorisme dalam dunia Islam dewasa ini berpangkal dari
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab merupakan tuduhan ngawur yang
tidak berdasar. Sejarah justru mencatat, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
selalu menggandeng penguasa dalam menjalankan dakwah tauhidnya. Seperti
ketika menghancurkan kubah di atas makam Zaid bin Khattab (?) yang
dikeramatkan, beliau meminta izin kepada amir ‘Uyainah sehingga sang
amir turut mengirimkan pasukan untuk membantu dan mengamankannya. Begitu
pula tatkala memulai dakwah pemurnian tauhid di Dir’iyyah beliau
mendapat perlindungan dari amir Dir’iyyah Muhammad Ibnu Saud.
Bahkan hingga hari ini, Arab Saudi yang
dikatakan negara ‘wahabi’ dianggap sebagai darul kufur oleh jamaah
takfir, sehingga sebuah teror bom yang didalangi Al-Qaida pernah
mengguncang Riyadh pada tahun 2004. Semua itu membuktikan kebohongan
soal tuduhan bahwa terorisme moderen dalam dunia Islam berakar dari
dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Kebangkitan jamaah takfir yang
berujung pada munculnya aksi terorisme di negeri-negeri Muslim,
sejatinya merupakan buntut dari tersebarnya pemikiran revolusioner ala
Sayyid Qutb yang menyerukan perlawanan terhadap pemerintah yang belum
menegakkan hukum Islam.
Mengapa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang Selalu Diserang?
Bila sudah sedemikian terang, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab tidak memiliki kaitan dengan pemahaman takfiri,
lantas mengapa kaum tradisionalis tetap begitu membenci beliau?
Benarkah beliau telah menciptakan satu mazhab baru yang bertentangan
dengan mazhab yang empat? Sekali-sekali tidak. Syaikh rahimahullah
justru seorang mujadid yang berjuang keras untuk mengembalikan aqidah
umat Islam kepada aqidah yang haq sebagaimana aqidahnya para Sahabat
Nabi, tabi’in, dan tabiut tabi’in, termasuk imam mazhab empat yakni
aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berdasarkan pemahaman salafus salih.
Beliau berjihad memberantas kemusyirikan
yang kala itu menyebar di Jazirah Arab dan dunia Islam secara umum.
Mengenai kondisi keagamaan di Nejd dan sekitarnya kala itu yang
merupakan tempat dimulainya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,
Ahmad Al-Usairy menulis, “Kemusyirikan dalam bentuk kepercayaan kepada
pohon, batu, dan kuburan telah menyebar. Mereka juga meminta tolong
kepada jin, menyembelih untuk mereka, dan bentuk-bentuk penyimpangan
lainnya. Syaikh mengumumkan perang terhadap semua itu. Maka, dia
mendapatkan perlawanan keras.”
Lihatlah! Bagi siapapun yang berfikir,
niscaya akan mendapati satu kesimpulan bahwa yang Syaikh lakukan
hanyalah mencontoh dakwah tauhid Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam.
Maka sekiranya kaum tradisionalis
menjuluki para da’i yang berdakwah memberantas kemusyirikan dan bid’ah
dengan sebutan ‘wahabi’, mengapa gelar yang sama tidak mereka tujukan
kepada Rasulullah SAW dan para sahabatnya? Bukankah Rasulullah SAW telah
memerintahkan untuk menghancurkan berhala-berhala yang disembah di
sekitar Ka’bah pasca Fathul Makkah? Bukankah Umar bin Khattab juga telah
memerintahkan untuk menebang pohon yang di bawahnya pernah berlangsung
Baiatur Ridwan karena khawatir akan menjadi sarana kemusyirikan di
kemudian hari?
Bukankah Ibnu Mas’ud juga dengan tegas
mengingkari amalan bid’ah sekelompok manusia yang tengah melakukan zikir
berjamaah? Bukankah Rasulullah dan para sahabatnya juga tidak
mengadakan perayaan 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari pasca kematian?
Lantas mengapa para kyai tradisionalis tidak berani memasukkan
Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke dalam golongan ‘wahabi’ padahal
apa yang Rasulullah SAW dan para sahabatnya lakukan justru dicontoh oleh
kaum ‘wahabi’?
Di sinilah tampak jelas bahwa
sesungguhnya stigmatisasi ‘wahabi’ kepada para da’i yang mendakwahkan
tauhid dan sunnah adalah justru untuk menghalangi kaum Muslimin dari
memahami Islam yang benar, yakni Islam yang diajarkan Rasulullah SAW
kepada sahabatnya. Tapi mengapa yang dipilih sebagai sasaran tembak
adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab? Bukankah ulama-ulama
Ahlus Sunnah lainnya juga bersikap tegas dalam memberantas segala bentuk
kesyirikan dan bid’ah?
Ya benar, akan tetapi Allah menakdirkan
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab hidup dalam satu kurun di mana mayoritas
kaum Muslimin telah terjebak dalam praktek-praktek kemusyirikan,
sehingga dakwah beliau yang bertujuan mengembalikan umat Islam kepada
tauhid yang murni bertentangan dengan arus mayoritas. Ditambah lagi,
dakwah tauhid dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ini telah sukses
membuahkan tegaknya daulah Su’udiyah yang menguasai dua tanah suci dan
selalu menjadi penyokong dakwah tauhid, sehingga fakta tersebut semakin
menumbuhkan kedengkian mendalam di hati para pembela tradisi nenek
moyang.
Oleh karena itu tidaklah lagi samar dalam
pandangan setiap yang berfikir bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab tidaklah menciptakan satu aliran baru. Beliau hanya mendakwahkan
ajaran Islam sebagaimana dipahami generasi awal umat ini tatkala
kebanyakan manusia telah meninggalkan dan berpaling kepada keyakinan
maupun amalan-amalan bid’ah. Dakwah beliau adalah dakwah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, sama dengan yang didakwahkan oleh Sahabat, Tabi’in, maupun
Imam mazhab yang empat.
Sebaliknya, mereka yang menyimpang dari
metode beragamanya para Sahabat, yang mencampuradukkan ajaran Islam
dengan keyakinan dan ritual di luar Islam, yang gemar melestarikan
bid’ah, meminta tolong pada jin, serta hobi ngalap berkah ke kuburan,
maka pengakuan mereka sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah hanyalah
kedustaan belaka. Sebab yang mereka lestarikan justru merupakan
amalan-amalan “asli warisan jahiliyah”.
( Muhamad Karyono )Sumber : http://salafitobat.wordpress.com/2014/02/26/mengungkap-hakikat-wahabi-dan-aswaja/
Pengalihan cerita yang tendesius tidak akan menyelesaikan masalah pemahaman apalagi tinjauannya dari perkiraan tanpa onbservasi secara mendalam
BalasHapus